Senin, 23 Februari 2015

Kesederhanaan seorang Pejabat Pemerintahan

Setelah membuat janji dan menunggu beberapa lama, akhirnya siang itu keinginan untuk bertemu dengan pejabat pemerintahan terkabul. Melalui kebaikan seorang sekretaris yang selalu memfolow up proposal supaya dibaca oleh beliau akhirnya terlaksana. dikarenakan kesesuaian program antara saya dan beliau akhirnya kesepakatan untuk berjumpa dan berdiskusi terlaksana. 

Di awal dalam benak saya sudah terbayang ruangan yang digunakan untuk bekerja begitu besar, untuk seukuran jabatannya memang harusnya besar sih, namun setelah saya masuk hilang seketika bayangan itu. yang nampak ruangan kecil dengan penataan yang sedemikian sesderhana namun hebatnya suasana kekeluargaan yang dibangun begitu luar biasa. dengan suguhan teh panas kami mulai berbincang, dengan keramahan dan kesederhanaannya namun aura kecerdasan begitu nampak ia tunjukkan. 

Akhir pembicaraan, beliau akan mengusahakan untuk membantu kami dalam menyelenggarakan program tersebut, satu hal yang membuat saya kaget namun kagum, untuk jabatan setinggi itu ia mau dan tidak malu untuk bertempat yang menurut saya kurang layak, semoga kesederhanaan yang terjadi merupakan asli sebagai wujud pembantu rakyat untuk lebih mengutamakan kesejahteraan rakyatnya bukan pribadinya.

Kamis, 19 Februari 2015

Resensi Buku Hak kebebasan beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi manusia universal




I.                   Pendahuluan
Pada bab pendahuluan, penulis buku Dr. Frans Sayogie mengemukakan gambaran umum penelitian, karena buku ini adalah hasil penelitian untuk tesis padaprogram studi magister ilmu hukum kekhususan hukum kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012, tesis dengan judul “hak kebebasan beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi manusia universal”. Yang diterbitkan di Tangerang Selatan, Banten oleh penerbit Trans Pustaka bekerjasama dengan Yayasan Pusat Kajian dan Advokasi Hak-Hak Minoritas tahun 2013, dengan 221 halaman ISBN: 978-979-3907-38-3.
Buku tersebut merupakan studi tentang peran negara dalam memberikan perlindungan bagi warganya menurut agama Islam, yang mencakup dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Di dalam bab ini juga penulis ingin mengungkapkan dan menjelaskan secara rinci tetntang hak kebebasan beragama dan masalahnya, kajian perbandingan, kerangka teoritis yang mencakup teori universalis, teori relativisme budaya dan paradigma relasi agama-negara, dilanjut dengan kerangka konsep yang meliputi hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam Islam, hak kebebasan beragama, hak kebebasan beragama dalam Islam dan perlindungan negara terhadap hak dan kebebasan beragama.
Di dalam buku ini penulis juga menggabungkan antara pemahaman dasar hak asasi manusia dalam konteks Islam maupun universal. Sehingga hasil yang dicapai merupakan sebuah upaya penggabungan dari dua sumber yang bisa dipertanggung jawabkan secara baik.

Di dalam buku ini penulis membagi pokok pembahasan seperti berikut,:
Bab 1 pendahuluan
Bab 2 konseptualisasi hak kebebasan beragama
Bab 3 hak kebebasan beragama dalam Islam dan masalahnya
Bab 4 perlindungan negara terhadap hak kebebasan beragama
Bab 5 penutup

II.                Ontologi
Penulis menggunakan perpektif ham universal, piagam madinah dan deklarasi kairo, untuk mempermudah dalam pembahasannya, saya akan mencoba sedikit menjelaskan ulang tentang ham universal, piagam madinah dan deklarasi kairo sesuai apa yang ditulis dalam buku.

Hak asasi manusia Universal, hak asasi manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat padanya dimanapun dia berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya sebagai manusia yang wajar, suatu tuntutan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat perlindungan hukum. Dalam muqaddimah deklarasi universal hak-hak asasi manusia (universal declaration of human rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai: pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia. Dan perlu kita ketahui hak asasi manusia pertama muncul dengan lahirnya dokumen Magna Charta (undang-undang yang membatasi kekuatan absolut para penguasa atau raja-raja. Dengan demikian maka raja yang melanggar aturan atau kekuasaan akan diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Dan lahirnya ini secara politis sebagai cikal bakal lahirnya monarki konstitusional) di Inggris pada juni 1215 dan lahirnya the bill of rights (undang-undang hak asasi manusia) pada tahun 1689. Dilanjut dengan munculnya deklarasi-deklarasi mengenai hak-hak kebebasan manusia lainnya. Secara umum, hak asasi manusia terdiri dari tiga cabang: hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan hak untuk membangun.
meski hak asasi

Piagam madinah adalah Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622 Masehi.
Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas penyembah berhala di Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang terdiri dari hal Mukaddimah,dilanjutkan oleh hal-hal seputar Pembentukan umat, Persatuan seagama, Persatuan segenap warga negara, Golongan minoritas, Tugas Warga Negara, Perlindungan Negara, Pimpinan Negara, Politik Perdamaian dan penutup.
Adapun deklarasi kairo adalah The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang HAM Menurut Islam) disampaikan dalam suatu Konferensi Internasional HAM di Wina, Austria, tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu merupakan konsensus dunia Islam tentang HAM.
Deklarasi Kairo atau lengkapnya Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam memuat asas-asas dasar HAM dan komponen HAM yang meliputi:
(1) Hak untuk hidup;
(2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
(3) Hak atas kekayaan intelektual;
(4) Hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi;
(5) Hak memperoleh keadilan;
(6) Hak kebebasan beragama;
(7) Hak atas kemerdekaan diri;
(8) Hak kebebasan berdomisili dan memperoleh suaka negara lain;
(9) Hak atas rasa aman,
(10) Hak atas kesejahteraan;
(11) Hak kepemilikan;
(12) Hak turut serta dalam pemerintahan;
(13) Hak perempuan; dan
(14) Hak anak.
Dalam perspektif piagam madinah
Perlindungan negara terhadap hak kebebasan dalam islam dapat mengacu pada konsep politik islam yang secara historis pernah dipraktikan pada masa awal pemerintahan islam di bawah kendali Nabi Muhammad SAW, ada pun dikatakan dalam buku ini menurut cendekiawan muslim nurcholis madjid realitas politik di masa awal islam memiliki bangunan politik yang demokratis dan partisipatoris yang menghormati dan menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial dan lain sebagainya. Nabi mengajarkan nilai-nilai demokratis kepada seluruh umat Islam saat itu, dilarang untuk memaksakan kehendak terhadap orang lain, menjunjung tinggi kaum perempuan dan anak-anak.
Pada periode madinah tersebut telah terjadi hubungan baik antara kaum muslim dengan kaum non muslim. Tradisi saling bertoleransi berjalan dengan baik sehingga kaum minoritas tidak merasa terganggu oleh kaum mayoritas, bahkan mendapat perlindungan baik dari pemerintahan untuk menjalankan aktivitasnya.
Pasal 25 piagam madinah merupakan perwujudan jaminan kebebasan beragama dan beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal ini juga dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum mukminin. Penyebutan demikian, mengandung arti bahwa dilihat dari kesatuan dasar agama orang-orang yahudi merupakan satu komunitas yang paralel dengan komunitas kaum muslimin. Mereka bebas menjalankan perintah agamanya.
Banyak pakar dan cendekiawan memberi ulasan tentang piagam madinah, akan tetapi substansi semuanya sama yaitu keberadaan piagam tersebut telah memperastukan warga madinah yang heterogen menjadi satu kesatuan masyarakat dalam pemenuhan hak dan penuaian kewajiban, saling menghormati antar suku dan agama.
Adapun dalam prespektif deklarasi kairo, prinsip-prinsipnya dijabarkan dalam 25 pasal menegaskan bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam islam merupakan bagian integral agama islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikannya karena hak-hak asasi dan kemedekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT dan diturunkan melalui nabinya yang terakhir.
Deklarasi ini mempunyai tujuan untuk melindungi hak asasi manusia sesuai dengan syariat islam. Islam menerima hak-hak asasi manusia, tetapi memiliki batasan tertentu salah satunya tentang kebebasan beragama khususnya dalam perpindahan agama.
Sementara itu, pada pasal 10 deklarasi kairo (islam is the religioun of Unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion on man or to exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another religioun or to atheism) juga memberikan pembatasan tentang kebesasan beragama. Pasal ini memisahkan diri dari deklarasi universal 1948 khususnya pasal 18, bahwa setiap orang memiliki hak berfikir, berkeyakinan, dan beragama, hak yang mencakup kebebasan mengganti agama atau keyakinannya, dan kebebasan sendiri atau dalam masyarakat, publik dan pribadi untuk melaksanakan agamanya atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktek ibadah dan pengamalan.
Perlindungan agama dalam deklarasi kairo menjadi sangat terbatas bila diimplementasikan di negara-negara islam yang ikut menandatanganinya, karena adanya konsep syariah yang dimasukkan dalam deklarasi kairo, dan banyak diformalisasikan pada negara-negara timur tengah. Lebih jauh lagi, deklarasi kairo menegaskan bahwa hak-hak dasar fundamental dan kebebasan universal di Islam adalah integral yang harus dipatuhi dalam agama islam. Oleh karena itu tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari atau bahkan menghentikan untuk sementara waktu perintah tuhan. Hal ini dikarenakan semua ajaran agama di dalam islam bersifat mengikat seperti termaktub di dalam kitab suci al-quran yang telah diwahyukan kepada nabi muhammad SAW.
Secara umum bisa dikatakan, deklarasi kairo mencerminkan pandangan dunia Islam terhadap deklarasi umum hak asasi manusia. Dengan kata lain, deklarasi kairo menolak universalisme deklarasi umum hak asasi manusia yang hendak diterapkan juga bagi negara Islam, dan menekankan adanya partikularisme hak asasi manusia. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam pasal 24 deklarasi kairo yang menyebutkan, “all the right and freedoms stipulated in this declaration are subject to the Islamic shari’ah”. Demikian juga pasal 25 menegaskan bahwa “the islamic Shari’ah is the only source of reference for the explanation or clarification of any the articles of this declaration”. Melalui deklarasi ini, syariah seolah diletakkan di atas hak asasi manusia universal. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dua pasal dalam deklarasi kairo pasal 24 dan 25 merupakan indikator penting untuk melindungi sejuml;ah doktrin islam seperti melarng pindah agama, dan membagi dunia muslim dan non muslim.
Penulis juga memberikan contoh kasus perundang-undangan, diantaranya di Yaman. Yang konstitusinya mendeklarasikan Islam sebagai agama resmi negara dan syariah sebagai sumber bagi semua legislasi, pemerintah memberikan kebebasan bagi umat islam dan penganut agama lain untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya, namun melarang dengan keras apostasi dari agama Islam dan praktik pemurtadan terhadap umat islam. Pelakunya dapat dikenakan sangsi pidana mati, menurut undang-undang pidana Yaman pasal 259. Contoh lainnya seperti kasus di Iran, meskipun undang-undang pidananya tidak menegaskan adanya tindakan pidana apostasi, namus disebutkan dalam undang-undang press Iran pasal 26: “siapapun yang meyakini Islam dan tempat sucinya di media dan jika ini mencakup apostasi, maka akan diputuskan sebagai murtad. Jika tidak termasuk apostasi maka orang tersebut akan diputuskann oleh pengadilan agama sesuai dengan perunadngan pidana” memang secara jelas tidak disebutkan sangsi dalam undang-undang ini, tapi secara implisit fatwa yang ditulis mendiang Ayatollah Khomeini : seorang yang murtad akan dipaksa untuk bertaubat dan jika menolak akan dieksekusi. Dianjurkan untuk memberikan penundaan tiga hari dan mengeksekusinya pada hari keempat jika ia menolak.
Dari dua contoh diatas bisa kita simpulkan bahwasanya deklarasi Kairo belum sepenuhnya memberikan solusi untuk hak-hak kebebasan beragama, banyak problematika dalam penerapannya khususnya di negara-negara Islam sendiri. Deklarasi ini seakan-akan menaruh syariah diatas hak asasi manusia universal dan memberikan legitimasi khususnya kepada negaraIslam untuk tetap menggunakan doktrin syariah yang lebih menekankan perlindungan agama.
Disini penulis menggunakan pendekatan ilmiah, yakni penggabungan dari pendekatan induktif dan deduktif. Dimulai dari pengamatan secara empiris, dibantu dengan perbandingan karya-karya yang sudah ada sehingga penulis mampu menyajikan hasil yang tidak meiliki kesamaan isi dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Data pendukung diperoleh dengan kajian pustaka, memperoleh sumber-sumber dari buku-buku yang menjadi pembantu dalam penulisan, ada sumber primer dan sumber sekunder.
III.             Epistemologi
Dalam buku ini penulis menggunakan kajian perbandingan, dengan membandingkan karya-karya sebelumnya yang membahas hal yang hampir sama, sehingga memunculkan sebuah pembahasan yang baru “kebebasan beragama dalam ranah perlindungan negara”. Di dalam tulisan ini pun disebutkan beberapa karya yang dipandang representatif dan relevan dengan tulisan ini seperti :
1.      Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan oleh Ahmad Suadi.
2.      Kuasa Negara Atas Agama: politik pengakuan, diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil karya Tedi Kholiludin.
3.      Buku Syariah dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap kebebasan Sipil, hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim oleh Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim.
Sedangkan teori yang digunakan adalah gabungan antara teori Universalis dan Teori Relativisme Budaya.
1.      Teori Universalis. Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Berusaha membangun standar universal yang melintasi batas kultural khususnya agama.
2.      Teori Relativisme Budaya. Berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular
Di dalam buku ini penulis menggunakan metode historis, dilakukan dengan pengamatan-pengamatan dan menganalisa peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa silam mengenai kasus penerapan ham seperti di Pakistan, Sudan, Yaman dan di republik Islam Mauritania.
Adapun menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta yang bekerja sama dengan Konkrad Adenauer Stiftung dengan Judul “ Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan Non-Muslim”, penelitian seperti ini baiknya menggunakan metode yang bersifat deskriptif dengan Informasi yang cukup kaya dari berbagai Sumber, yang kemudian digunakan untuk menghubungkan satu sama lain guna menjelaskan dan menganalisa suatu fenomena atau hubungan antar fenomena. Harus secara detail digambarkan bagaimana situasinya, hubungan sosial yang terjadi sejelas-jelasnya sehingga ada hasil akhir yang memuaskan di akhir penelitian.
IV.             Aksiologi
Implementasi kebebasan beragama masih memiliki permaslahan yang belum tuntas. Berdasarkan perspektif Piagam Madinah, Islam dapat memberikan perlindungan kebebasan beragama dan memberikan hak-hak non muslim, akan tetapi ini semua belum bisa terwujud dan cenderung jauh dari semangat yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga tercermin dalam Deklarasi Kairo yang memberikan Legitimasi kepada negara-negara Islam untuk tetap mempertahankan dan menjalankan doktrin berbasis Syariah yang lebih menekankan perlindungnan agama daripada memberikan perlindungan hak Fundamental dalam kebebasan beragama.
Hasil dari penelitian yang hingga akhirnya menjadi sebuah buku ini memberi tambahan pengetahuan banyak hal tentang HAM, khususnya yang berkaitan dengan negara Islam. Setelah membaca dan menelaah buku ini kita akan dapat beberapa manfaat diantaranya,
1.      Bisa menjabarkan konsep HAM secara Universal
2.      Bisa menjabarkan Konsep Ham ditinjau dari Piagam Madinah
3.      Bisa menjabarkan konsep HAM ditinjau dari deklarasi Kairo
4.      Mengetahui peran pemerintah khususnya Islam dalam mengakomodir masalah HAM dalam sebuah pemerintahan.
Dan diharapkan setelah membaca tulisan ini pera penikmat HAM akan lebih giat lagi melakukan kajian-kajian yang sama untuk lebih memperluas prespekti-prespektif HAM ditinjau dari segala Aspek. Dari buku ini penulis belum memberikan hasil yang tuntas sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tentunya menuntut kepada peneliti-peneliti selanjutnya untuk menyempurnakan hasil ini.