I.
Pendahuluan
Pada
bab pendahuluan, penulis buku Dr. Frans Sayogie mengemukakan gambaran umum
penelitian, karena buku ini adalah hasil penelitian untuk tesis padaprogram
studi magister ilmu hukum kekhususan hukum kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia pada tahun 2012, tesis dengan judul “hak kebebasan
beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi
manusia universal”. Yang diterbitkan di Tangerang Selatan, Banten oleh penerbit
Trans Pustaka bekerjasama dengan Yayasan Pusat Kajian dan Advokasi Hak-Hak
Minoritas tahun 2013, dengan 221 halaman ISBN: 978-979-3907-38-3.
Buku tersebut merupakan
studi tentang peran negara dalam memberikan perlindungan bagi warganya menurut
agama Islam, yang mencakup dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Di
dalam bab ini juga penulis ingin mengungkapkan dan menjelaskan secara rinci
tetntang hak kebebasan beragama dan masalahnya, kajian perbandingan, kerangka
teoritis yang mencakup teori universalis, teori relativisme budaya dan paradigma
relasi agama-negara, dilanjut dengan kerangka konsep yang meliputi hak asasi
manusia, hak asasi manusia dalam Islam, hak kebebasan beragama, hak kebebasan
beragama dalam Islam dan perlindungan negara terhadap hak dan kebebasan
beragama.
Di
dalam buku ini penulis juga menggabungkan antara pemahaman dasar hak asasi
manusia dalam konteks Islam maupun universal. Sehingga hasil yang dicapai
merupakan sebuah upaya penggabungan dari dua sumber yang bisa dipertanggung
jawabkan secara baik.
Di
dalam buku ini penulis membagi pokok pembahasan seperti berikut,:
Bab
1 pendahuluan
Bab 2 konseptualisasi
hak kebebasan beragama
Bab 3 hak kebebasan
beragama dalam Islam dan masalahnya
Bab 4 perlindungan
negara terhadap hak kebebasan beragama
Bab 5 penutup
II.
Ontologi
Penulis
menggunakan perpektif ham universal, piagam madinah dan deklarasi kairo, untuk
mempermudah dalam pembahasannya, saya akan mencoba sedikit menjelaskan ulang
tentang ham universal, piagam madinah dan deklarasi kairo sesuai apa yang
ditulis dalam buku.
Hak asasi manusia Universal,
hak asasi manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat padanya
dimanapun dia berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya
sebagai manusia yang wajar, suatu tuntutan yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan dan mendapat perlindungan hukum. Dalam muqaddimah
deklarasi universal hak-hak asasi manusia (universal declaration of human
rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai: pengakuan atas
keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan
kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar
kemerdekaan dan keadilan di dunia. Dan perlu kita ketahui hak asasi manusia
pertama muncul dengan lahirnya dokumen Magna Charta (undang-undang yang
membatasi kekuatan absolut para penguasa atau raja-raja. Dengan demikian maka
raja yang melanggar aturan atau kekuasaan akan diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Dan
lahirnya ini secara politis sebagai cikal bakal lahirnya monarki konstitusional)
di Inggris pada juni 1215 dan lahirnya the
bill of rights (undang-undang hak asasi manusia) pada tahun 1689. Dilanjut
dengan munculnya deklarasi-deklarasi mengenai hak-hak kebebasan manusia
lainnya. Secara umum, hak asasi manusia terdiri dari tiga cabang: hak-hak sipil
dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan hak untuk membangun.
meski hak asasi
Piagam madinah
adalah Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan
sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi
Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan
semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah)
pada tahun 622 Masehi.
Dokumen
tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan
pertentangan sengit antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu
dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum
Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas penyembah berhala di Madinah; sehingga
membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut
ummah. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang terdiri dari hal
Mukaddimah,dilanjutkan oleh hal-hal seputar Pembentukan umat, Persatuan
seagama, Persatuan segenap warga negara, Golongan minoritas, Tugas Warga
Negara, Perlindungan Negara, Pimpinan Negara, Politik Perdamaian dan penutup.
Adapun
deklarasi kairo adalah The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi
Kairo tentang HAM Menurut Islam) disampaikan dalam suatu Konferensi
Internasional HAM di Wina, Austria, tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab
Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu merupakan konsensus dunia Islam tentang
HAM.
Deklarasi
Kairo atau lengkapnya Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam memuat asas-asas
dasar HAM dan komponen HAM yang meliputi:
(1) Hak untuk hidup;
(2) Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan;
(3) Hak atas kekayaan
intelektual;
(4) Hak kebebasan
berpendapat dan memperoleh informasi;
(5) Hak memperoleh
keadilan;
(6) Hak kebebasan
beragama;
(7) Hak atas
kemerdekaan diri;
(8) Hak kebebasan
berdomisili dan memperoleh suaka negara lain;
(9) Hak atas rasa aman,
(10) Hak atas
kesejahteraan;
(11) Hak kepemilikan;
(12) Hak turut serta
dalam pemerintahan;
(13) Hak perempuan; dan
(14) Hak anak.
Dalam
perspektif piagam madinah
Perlindungan
negara terhadap hak kebebasan dalam islam dapat mengacu pada konsep politik
islam yang secara historis pernah dipraktikan pada masa awal pemerintahan islam
di bawah kendali Nabi Muhammad SAW, ada pun dikatakan dalam buku ini menurut
cendekiawan muslim nurcholis madjid realitas politik di masa awal islam
memiliki bangunan politik yang demokratis dan partisipatoris yang menghormati
dan menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan
sosial dan lain sebagainya. Nabi mengajarkan nilai-nilai demokratis kepada
seluruh umat Islam saat itu, dilarang untuk memaksakan kehendak terhadap orang
lain, menjunjung tinggi kaum perempuan dan anak-anak.
Pada
periode madinah tersebut telah terjadi hubungan baik antara kaum muslim dengan
kaum non muslim. Tradisi saling bertoleransi berjalan dengan baik sehingga kaum
minoritas tidak merasa terganggu oleh kaum mayoritas, bahkan mendapat
perlindungan baik dari pemerintahan untuk menjalankan aktivitasnya.
Pasal
25 piagam madinah merupakan perwujudan jaminan kebebasan beragama dan beribadat
menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal ini juga dinyatakan bahwa kaum
Yahudi adalah satu umat bersama kaum mukminin. Penyebutan demikian, mengandung
arti bahwa dilihat dari kesatuan dasar agama orang-orang yahudi merupakan satu
komunitas yang paralel dengan komunitas kaum muslimin. Mereka bebas menjalankan
perintah agamanya.
Banyak
pakar dan cendekiawan memberi ulasan tentang piagam madinah, akan tetapi substansi
semuanya sama yaitu keberadaan piagam tersebut telah memperastukan warga
madinah yang heterogen menjadi satu kesatuan masyarakat dalam pemenuhan hak dan
penuaian kewajiban, saling menghormati antar suku dan agama.
Adapun dalam prespektif deklarasi kairo,
prinsip-prinsipnya dijabarkan dalam 25 pasal menegaskan bahwa hak-hak asasi dan
kemerdekaan universal dalam islam merupakan bagian integral agama islam dan
bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan
maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikannya karena hak-hak asasi dan
kemedekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu
Allah SWT dan diturunkan melalui nabinya yang terakhir.
Deklarasi
ini mempunyai tujuan untuk melindungi hak asasi manusia sesuai dengan syariat
islam. Islam menerima hak-hak asasi manusia, tetapi memiliki batasan tertentu
salah satunya tentang kebebasan beragama khususnya dalam perpindahan agama.
Sementara
itu, pada pasal 10 deklarasi kairo (islam is the religioun of Unspoiled
nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion on man or to
exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another religioun
or to atheism) juga memberikan pembatasan tentang kebesasan beragama. Pasal
ini memisahkan diri dari deklarasi universal 1948 khususnya pasal 18, bahwa
setiap orang memiliki hak berfikir, berkeyakinan, dan beragama, hak yang
mencakup kebebasan mengganti agama atau keyakinannya, dan kebebasan sendiri
atau dalam masyarakat, publik dan pribadi untuk melaksanakan agamanya atau
kepercayaannya dalam pengajaran, praktek ibadah dan pengamalan.
Perlindungan
agama dalam deklarasi kairo menjadi sangat terbatas bila diimplementasikan di
negara-negara islam yang ikut menandatanganinya, karena adanya konsep syariah
yang dimasukkan dalam deklarasi kairo, dan banyak diformalisasikan pada
negara-negara timur tengah. Lebih jauh lagi, deklarasi kairo menegaskan bahwa
hak-hak dasar fundamental dan kebebasan universal di Islam adalah integral yang
harus dipatuhi dalam agama islam. Oleh karena itu tidak ada seorang pun yang
berhak mengingkari atau bahkan menghentikan untuk sementara waktu perintah
tuhan. Hal ini dikarenakan semua ajaran agama di dalam islam bersifat mengikat
seperti termaktub di dalam kitab suci al-quran yang telah diwahyukan kepada
nabi muhammad SAW.
Secara
umum bisa dikatakan, deklarasi kairo mencerminkan pandangan dunia Islam
terhadap deklarasi umum hak asasi manusia. Dengan kata lain, deklarasi kairo
menolak universalisme deklarasi umum hak asasi manusia yang hendak diterapkan
juga bagi negara Islam, dan menekankan adanya partikularisme hak asasi manusia.
Hal ini antara lain dapat dilihat dalam pasal 24 deklarasi kairo yang
menyebutkan, “all the right and freedoms
stipulated in this declaration are subject to the Islamic shari’ah”.
Demikian juga pasal 25 menegaskan bahwa “the
islamic Shari’ah is the only source of reference for the explanation or
clarification of any the articles of this declaration”. Melalui deklarasi
ini, syariah seolah diletakkan di atas hak asasi manusia universal. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa dua pasal dalam deklarasi kairo pasal 24 dan 25
merupakan indikator penting untuk melindungi sejuml;ah doktrin islam seperti
melarng pindah agama, dan membagi dunia muslim dan non muslim.
Penulis
juga memberikan contoh kasus perundang-undangan, diantaranya di Yaman. Yang
konstitusinya mendeklarasikan Islam sebagai agama resmi negara dan syariah
sebagai sumber bagi semua legislasi, pemerintah memberikan kebebasan bagi umat
islam dan penganut agama lain untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya,
namun melarang dengan keras apostasi dari agama Islam dan praktik pemurtadan
terhadap umat islam. Pelakunya dapat dikenakan sangsi pidana mati, menurut
undang-undang pidana Yaman pasal 259. Contoh lainnya seperti kasus di Iran,
meskipun undang-undang pidananya tidak menegaskan adanya tindakan pidana
apostasi, namus disebutkan dalam undang-undang press Iran pasal 26: “siapapun
yang meyakini Islam dan tempat sucinya di media dan jika ini mencakup apostasi,
maka akan diputuskan sebagai murtad. Jika tidak termasuk apostasi maka orang
tersebut akan diputuskann oleh pengadilan agama sesuai dengan perunadngan
pidana” memang secara jelas tidak disebutkan sangsi dalam undang-undang ini,
tapi secara implisit fatwa yang ditulis mendiang Ayatollah Khomeini : seorang
yang murtad akan dipaksa untuk bertaubat dan jika menolak akan dieksekusi.
Dianjurkan untuk memberikan penundaan tiga hari dan mengeksekusinya pada hari
keempat jika ia menolak.
Dari
dua contoh diatas bisa kita simpulkan bahwasanya deklarasi Kairo belum
sepenuhnya memberikan solusi untuk hak-hak kebebasan beragama, banyak
problematika dalam penerapannya khususnya di negara-negara Islam sendiri.
Deklarasi ini seakan-akan menaruh syariah diatas hak asasi manusia universal
dan memberikan legitimasi khususnya kepada negaraIslam untuk tetap menggunakan
doktrin syariah yang lebih menekankan perlindungan agama.
Disini
penulis menggunakan pendekatan ilmiah, yakni penggabungan dari pendekatan
induktif dan deduktif. Dimulai dari pengamatan secara empiris, dibantu dengan
perbandingan karya-karya yang sudah ada sehingga penulis mampu menyajikan hasil
yang tidak meiliki kesamaan isi dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Data
pendukung diperoleh dengan kajian pustaka, memperoleh sumber-sumber dari
buku-buku yang menjadi pembantu dalam penulisan, ada sumber primer dan sumber
sekunder.
III.
Epistemologi
Dalam
buku ini penulis menggunakan kajian perbandingan, dengan membandingkan
karya-karya sebelumnya yang membahas hal yang hampir sama, sehingga memunculkan
sebuah pembahasan yang baru “kebebasan beragama dalam ranah perlindungan
negara”. Di dalam tulisan ini pun disebutkan beberapa karya yang dipandang
representatif dan relevan dengan tulisan ini seperti :
1. Konstitusi
dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
oleh Ahmad Suadi.
2. Kuasa
Negara Atas Agama: politik pengakuan, diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi
Hak Sipil karya Tedi Kholiludin.
3. Buku
Syariah dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap kebebasan Sipil, hak-hak
Perempuan, dan Non-Muslim oleh Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim.
Sedangkan teori yang digunakan adalah
gabungan antara teori Universalis dan Teori Relativisme Budaya.
1. Teori
Universalis. Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan
kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh
umat manusia. Berusaha membangun standar universal yang melintasi batas
kultural khususnya agama.
2. Teori
Relativisme Budaya. Berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat
partikular
Di dalam buku ini penulis menggunakan
metode historis, dilakukan dengan pengamatan-pengamatan dan menganalisa
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa silam mengenai kasus penerapan ham
seperti di Pakistan, Sudan, Yaman dan di republik Islam Mauritania.
Adapun menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta
yang bekerja sama dengan Konkrad Adenauer Stiftung dengan Judul “ Syariah Islam
dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan
Non-Muslim”, penelitian seperti ini baiknya menggunakan metode yang bersifat
deskriptif dengan Informasi yang cukup kaya dari berbagai Sumber, yang kemudian
digunakan untuk menghubungkan satu sama lain guna menjelaskan dan menganalisa
suatu fenomena atau hubungan antar fenomena. Harus secara detail digambarkan
bagaimana situasinya, hubungan sosial yang terjadi sejelas-jelasnya sehingga
ada hasil akhir yang memuaskan di akhir penelitian.
IV.
Aksiologi
Implementasi
kebebasan beragama masih memiliki permaslahan yang belum tuntas. Berdasarkan
perspektif Piagam Madinah, Islam dapat memberikan perlindungan kebebasan
beragama dan memberikan hak-hak non muslim, akan tetapi ini semua belum bisa
terwujud dan cenderung jauh dari semangat yang terkandung di dalamnya. Hal ini
juga tercermin dalam Deklarasi Kairo yang memberikan Legitimasi kepada
negara-negara Islam untuk tetap mempertahankan dan menjalankan doktrin berbasis
Syariah yang lebih menekankan perlindungnan agama daripada memberikan
perlindungan hak Fundamental dalam kebebasan beragama.
Hasil
dari penelitian yang hingga akhirnya menjadi sebuah buku ini memberi tambahan
pengetahuan banyak hal tentang HAM, khususnya yang berkaitan dengan negara
Islam. Setelah membaca dan menelaah buku ini kita akan dapat beberapa manfaat
diantaranya,
1. Bisa
menjabarkan konsep HAM secara Universal
2. Bisa
menjabarkan Konsep Ham ditinjau dari Piagam Madinah
3. Bisa
menjabarkan konsep HAM ditinjau dari deklarasi Kairo
4. Mengetahui
peran pemerintah khususnya Islam dalam mengakomodir masalah HAM dalam sebuah
pemerintahan.
Dan diharapkan setelah membaca tulisan
ini pera penikmat HAM akan lebih giat lagi melakukan kajian-kajian yang sama
untuk lebih memperluas prespekti-prespektif HAM ditinjau dari segala Aspek.
Dari buku ini penulis belum memberikan hasil yang tuntas sehingga masih
menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tentunya menuntut kepada
peneliti-peneliti selanjutnya untuk menyempurnakan hasil ini.