Senin, 13 April 2015

Ilmu Kalam



Bab I
Pendahuluan
A.    Latar belakang masalah
Pemikiran islam adalah suatu upaya ijtihadi seseorang atau kelompok orang untuk menerjemahkan nilai-nilai universalitas Al-quran dan As-Sunnah sesuai dengan situasi zamannya. Sebagai bagian dari pemikiran Islam, kalam pun melakukan upaya ijtihad atau penalaran terhadap teks-teks Quran dan Sunnah sebagai cara untuk mengekpresikan pandangan-pandangan teologisnya, kemudian dipelihara dan dipertahankan melalui argumentasi yang logis rasionalis. Dengan demikian, quran dan sunah dipandang sbgai sumber utama pemikiran kalam, disamping penalaran sebagai media untuk melakukan upaya ijtihadi itu.
Dalam perspektif pemikiran Islam, ilmu kalam memiliki karakteristik, corak dan bentuk yang khas. Pemikirannya sangat melekat dengan kondisi sosial, kultural dan politis, disaat umat islam sedang mengembangkan ajarannya. Secara teologis, pemikiran kalam muncul bersamaan dengan penyikapan umat islam terhadap ajarannya, baik dalam bentuk pemahaman, penghayatan dan pengamalan. Oleh karena itu, sejak awal terutama setelah Rasulullah SAW wafat, pemikiran kalam telah muncul.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses lahirnya ilmu kalam
2.      Sejarah kemunculan persoalan-persoalan kalam
3.      Aliran-aliran dalam ilmu kalam









Bab II
Pembahasan
A.    Sebab-sebab lahirnya ilmu kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".[1]
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain : ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-Akbar dan teologi Islam. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. [2]
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme).
B.     Sejarah kemunculan persoalan-persoalan kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali  bin abi Thalib. Ketegangan antara mu’awiyah dan Ali bin abi thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash utusan pihak muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau La hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka dikenal dengan Khawarij. Yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yng tetap mendukung ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah. Menurut Watt, Syiah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap Arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali terbelah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali kelak disebut Syiah dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak disebut khawarij.
Kalau kita telaah persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah.
Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah factor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:

a. Adanya kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, di mana Syi’ah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan Khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya.
b. Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman khalifah Usman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan. Karna Faktor politik juga dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran di lingkungan Umat Islam, khususnya pada awal perkembangannya. Maka persoalan imamah (khilafain), menjafi persolan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam. Permasalahan ini dimulai ketika ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.
Berkenaan dengan itu, ulama, antara lain ‘Amir al-Najjar berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah
c. Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda
Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
d. Mengedepankan akal
Dalam hal ini, akal digunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah Faktor yang muncul dari luar umat islam, Disamping faktor internal mendorong dan mempengaruhi kemnculan persoalan-persoalan kalam juga ada faktor eksternal berupa paham-paham keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam. Seperti:
a. Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam. Paham keagamaan non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani, yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam mulai dipengaruhi oleh pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang jerman yang ahli ketimuran dan ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar aceh, yang mengatakan bahwa banyak ucapan dan cara berfikir kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits yang dikataakan berasal dari Muhammad
b. Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah, perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.

c. Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik), hingga memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu berkenaan.[3]
C.     Aliran dalam Ilmu Kalam dan tokohnya.
1.      Khawarij.
ومن يهاجر في سبيل الله يجد فى الأرض مراغما كثيرا و سعة و من يخرج من بيته مهاجرا إلى الله و رسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره. (النساء : 100)
Artinya :
Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rsul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah...(Q.S. An-Nisa: 100).
Kata khawarij  menurut bahasa merupakan jamak dari  خرجي  secara harfiah berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri. Istilah ini bersifat umum yang mencakup semua aliran dalam Islam yang memisahkan diri atau keluar dari jamaah ummat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syahrastani:
(Tiap yang memberontak kepada imam yang benar yang disepakati oleh jamaah dinamakan khawarij)
Jadi khawarij adalah  firqah bathil yang keluar dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa, ‘Bidah yang pertama muncul dalam Islam adalah bidah khawarij.
Secara Historis khawarij merupakan “orang-orang yang keluar dari barisan Ali” Awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Namun pada perkembangan selanjutnya mereka juga adalah kelompok yang tidak mengakui kepemimpinan Muawiyah.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kaum khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan arbitrase yang diambil dalam kesepakatan bersama Muawiyah.[4]
Paham-pahamnya. Dengan melihat suasana dan latar belakang kemunculannya, paham yang dibawa dan diperjuangkan kaum Khawarij tidak dapat dilepaskan dari suasana politis yang terjadi pada saat itu. Ketidak setujuannya terhadap usaha perdamaian yang dilakukan oleh pihak Ali dan Muawiyah, memberi pengaruh terhadap paham teologisnya. Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran mereka berusaha mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini:
1.      Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, sedangkan Usman dan Ali juga orang-orang yang ikut dalam perang Unta dipandang telah bedosa.
2.      Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam paham kaum khawarij.
3.      Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4.      Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi atau dibunuh.
5.      Mereka menerima Al-Quran sebagai salah satu sumber di antara sumber-sumber Islam.

2.      Aliran Murji’ah
Murjiah muncul sebagai reaksi terhadap teori-teori yang bertentangan dengan Syiah dan khawarij, dimana kedua aliran yang disebut terakhir ini sama-sama menentang rezim bani Umayyah. Penentangan khawarij karena mereka dianggap menyeleweng dari ajaran Islam, sedangkan penentangan Syiah karena mereka dianggap telah merampas kekuasaan dari pihak Ali dan keturunannya.[5]
Murji’ah diambil dari kata Irja’ yang memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua memberi harapan. Perkataan “al-irja” pun mengandung arti penundaan pengadilan terhadap seseorang yang melakukan dosa sampai hari kiamat. Dengan demikian di dunia tidak ada perhitungan untuk ahli surga maupun ahli neraka.[6]
Adapun pahamnya adalah pandangan netral tersebut, tampak pada penamaan aliran ini yang bersal dari kata “arja’a” yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan. Menangguhka berarti menunda masalah siksaan seseorang di tangan tuhan, yakni jika tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. Namun pemahaman keagamaan murji’ah dapat diintisarikan sebagai berikut.
Pertama, iman cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun melakukan dosa besar.
Kedua, dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman di hati,setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudarat atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan cukup menjauhi Syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
3.      Mu’tazilah
Mu’tazilah sangat berkembang terutama pada masa pemerintahan Al-Makmun, seorang khilafah Dinasti bani Abbasiyah yang sangat tertarik dengan filsafat Yunani. Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti menjauh atau menjauhkan diri. Istilah mu’tazilah dibagi menjadi dua golongan :
Golongan pertama muncul sebagai respon politik murni, tumbuh sebagai kaum netral politi.
Golongan kedua muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.[7]
Mu’tazilah memiliki lima pokok ajaran sebagai berikut,
Pertama, tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui sifat azali yang dimiliki Allah, seperti sifat ilmu, hidup, mendengar dan melihat yang bukan Dzatnya. Akan tetapi Ia maha alim, maha qadir, hidup, melihat dan mendengar dzat-Nya.
Kedua, adil, maha adil dan keadilannya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Ketiga, kedudukan antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain), mu’tazilah menempatkan pelaku dosa besar pada posisi antara mukmin dan kafir, yaitu fasik. Pendapat ini merupakan jalan tengah antara vonis yang dijatuhkan oleh pengikut khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, dan pendapat kaum murjia’ah uyang menganggap pelaku dosa besar tetap sebagai seorang mukmin.
Keempat, janji dan ancaman. (al-wa’du wa al-wa’id) janji dan ancaman Allah adalah sebuah kepastian adanya. Janji Allah maksudanya adalah pemberian pahala, sedangkan Ancaman-Nya adalah hukuman.
Kelima, amar ma’ruf nahi munkar, hal ini dapat penekanan kaum Mu’tazilah karena pada saat itu kaum Zindiq tengah merajalela di masyarakat. Oleh karena itu, kaum mu’tazilah menyerukan amar ma’ruf nahi munkar.[8]
4.      Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, semua perilaku manusia murni produk manusia itu sendiri. Adapun menurut Harun Nasution Qadariyah adalah pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab saat itu yaitu faham bahwa nasib manusia sudah ditentukan dahulu. Manusia mempunyai akal fikir yang mampu untuk berfikir kreatif, sehingga menurut qadariyah tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.[9]
5.      Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa atau mengharuskannya melakukan sesuatu. Namun paham jabariyah bisa diintikan sebagai paham yang menyebutkan perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Jabariyah dibagi menjadi dua, jabariyah murni dan jabariyah moderat.[10]
Diantara doktrin yang dikemukakan oleh pemuka jabariyah, oleh Jahm bin Shofwan yang mengatakan,
a.       Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa
b.      Surga dan neraka tidak kekal
c.       Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
d.      Kalam Tuhan adalah Makhluk.

Daftar pustaka

Muhammad bin ‘Abdul karim Syahrastani, sekte-sekte Islam bagian tentang sekte-sekte Islam dalam kitab al-Milal wan-Nihal. Bandung: penerbit pustaka, 1996.
Prof Dr Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia.
Drs. Adeng Nuchtar Ghazali, M.Ag. perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern. Bandung: pustaka setia, 2003
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. UI-Press : Penerbit Universitas Indonesia, 2009


[1] . imam tontowi, makalah ilmu kalam “sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu kalam ”
[2]. Prof Dr Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia, hal. 13.
[3]. velianida, makalah ilmu kalam “sebab-sebab munculnya ilmu kalam”
[4]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. UI-Press : Penerbit Universitas Indonesia, 2009. Hal. 13.
[5]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. UI-Press : Penerbit Universitas Indonesia, 2009. Hal. 90.
[6]Drs. Adeng Nuchtar Ghazali, M.Ag. perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern. Bandung: pustaka setia, 2003. Hal.90.
[7]Prof Dr Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia, hal.77.
[8]Drs. Adeng Nuchtar Ghazali, M.Ag. perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern. Bandung: pustaka setia, 2003. Hal.96.
[9]Prof Dr Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia, hal.74.
[10]Muhammad bin ‘Abdul karim Syahrastani, sekte-sekte Islam bagian tentang sekte-sekte Islam dalam kitab al-Milal wan-Nihal. Bandung: penerbit pustaka, 1996 hal 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar