Bab I
Pendahuluan
A.
Latar
belakang masalah
Pemikiran islam adalah suatu upaya ijtihadi seseorang atau
kelompok orang untuk menerjemahkan nilai-nilai universalitas Al-quran dan
As-Sunnah sesuai dengan situasi zamannya. Sebagai bagian dari pemikiran
Islam, kalam pun melakukan upaya ijtihad atau penalaran terhadap teks-teks
Quran dan Sunnah sebagai cara untuk mengekpresikan pandangan-pandangan
teologisnya, kemudian dipelihara dan dipertahankan melalui argumentasi yang
logis rasionalis. Dengan demikian, quran dan sunah dipandang sbgai sumber utama
pemikiran kalam, disamping penalaran sebagai media untuk melakukan upaya
ijtihadi itu.
Dalam perspektif pemikiran Islam, ilmu kalam memiliki
karakteristik, corak dan bentuk yang khas. Pemikirannya sangat melekat dengan
kondisi sosial, kultural dan politis, disaat umat islam sedang mengembangkan
ajarannya. Secara teologis, pemikiran kalam muncul bersamaan dengan penyikapan
umat islam terhadap ajarannya, baik dalam bentuk pemahaman, penghayatan dan
pengamalan. Oleh karena itu, sejak awal terutama setelah Rasulullah SAW wafat,
pemikiran kalam telah muncul.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
proses lahirnya ilmu kalam
2.
Sejarah
kemunculan persoalan-persoalan kalam
3.
Aliran-aliran
dalam ilmu kalam
Bab II
Pembahasan
A.
Sebab-sebab
lahirnya ilmu kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin
keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat
Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam
sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya
ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn
'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang
sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah
banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di
berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan.
Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan
juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses
pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit
keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas
sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam,
berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah
dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan
dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri
utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri
memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga
secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah
terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga
disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika
formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm
al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".[1]
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain : ilmu
ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-Akbar dan teologi Islam. Secara objektif, ilmu
kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih
dikonsentrasikan pada penguasaan logika. [2]
Dari penjelasan singkat itu dapat
diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika.
Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang
Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa
yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani
(Hellenisme).
B.
Sejarah
kemunculan persoalan-persoalan kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan
persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan ‘utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas
kekhalifahan Ali bin abi Thalib.
Ketegangan antara mu’awiyah dan Ali bin abi thalib mengkristal menjadi perang
siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang
menerima tipu muslihat Amr bin Ash utusan pihak muawiyah dalam tahkim,
sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya.
Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan
melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada
hukum selain dari hukum Allah) atau La hukma illa Allah (tidak ada
perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi
thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam
sejarah Islam mereka dikenal dengan Khawarij. Yaitu orang yang keluar
dan memisahkan diri.
Di luar pasukan yang membelot Ali,
ada pula sebagian besar yng tetap mendukung ali. Mereka inilah yang kemudian
memunculkan kelompok Syiah. Menurut Watt, Syiah muncul ketika berlangsung
peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang siffin.
Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap Arbitrase yang ditawarkan Muawiyah,
pasukan Ali terbelah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali kelak
disebut Syiah dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak disebut khawarij.
Kalau kita telaah persoalan kalam
yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan
kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap
dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang
yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu
Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat
44. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam yaitu Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah.
Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam,
yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah factor yang muncul dari dalam umat Islam
sendiri yang dikarenakan:
a. Adanya kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan kelompok pada umumnya
mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, di mana Syi’ah sangat
berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan Khawarij
sebagai kelompok yang sebaliknya.
b. Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada
kekacauan politik pada zaman khalifah Usman bin Affan yang menyebabkan wafatnya
beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata
kehidupan. Karna Faktor politik juga dapat memunculkan madzhab-madzhab
pemikiran di lingkungan Umat Islam, khususnya pada awal perkembangannya. Maka
persoalan imamah (khilafain), menjafi persolan tersendiri dan khas yang
menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam.
Permasalahan ini dimulai ketika ketika Rasulullah meninggal dunia serta
peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain
saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.
Berkenaan dengan itu, ulama, antara lain ‘Amir al-Najjar
berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah
pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah
c. Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda
Perbedaan ini terdapat dalam hal
pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu
menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang
lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang
mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa
merujuk kepada hadist.
d. Mengedepankan akal
Dalam hal ini, akal digunakan setiap
keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal,
seperti aliran Mu’tazilah.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah Faktor yang
muncul dari luar umat islam, Disamping faktor internal mendorong dan
mempengaruhi kemnculan persoalan-persoalan kalam juga ada faktor eksternal
berupa paham-paham keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut
mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam. Seperti:
a. Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam. Paham
keagamaan non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani,
yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan
lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam mulai dipengaruhi oleh
pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin
Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang jerman yang ahli ketimuran dan
ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar aceh, yang mengatakan bahwa
banyak ucapan dan cara berfikir kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits
yang dikataakan berasal dari Muhammad
b. Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah,
perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah
mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua
pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan
pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan
Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu
Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan Islam dengan
senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.
c. Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik),
hingga memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak
kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu berkenaan.[3]
C.
Aliran
dalam Ilmu Kalam dan tokohnya.
1.
Khawarij.
ومن
يهاجر في سبيل الله يجد فى الأرض مراغما كثيرا و سعة و من يخرج من بيته مهاجرا إلى
الله و رسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره. (النساء : 100)
Artinya :
Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rsul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang
dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah...(Q.S. An-Nisa:
100).
Kata khawarij menurut bahasa
merupakan jamak dari خرجي secara
harfiah berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri.
Istilah ini bersifat umum yang mencakup semua aliran dalam Islam yang
memisahkan diri atau keluar dari jamaah ummat, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Asy-Syahrastani:
(Tiap yang memberontak kepada imam yang benar yang disepakati oleh
jamaah dinamakan khawarij)
Jadi khawarij
adalah firqah bathil yang keluar dari
dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa, ‘Bidah yang pertama muncul dalam
Islam adalah bidah khawarij.
Secara Historis
khawarij merupakan “orang-orang yang keluar dari barisan Ali” Awalnya mengakui
kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Namun pada perkembangan
selanjutnya mereka juga adalah kelompok yang tidak mengakui kepemimpinan
Muawiyah.
Seperti yang
dikemukakan sebelumnya, kaum khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali bin
Abi Thalib yang meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan arbitrase
yang diambil dalam kesepakatan bersama Muawiyah.[4]
Paham-pahamnya.
Dengan melihat suasana dan latar belakang kemunculannya, paham yang dibawa dan
diperjuangkan kaum Khawarij tidak dapat dilepaskan dari suasana politis yang
terjadi pada saat itu. Ketidak setujuannya terhadap usaha perdamaian yang
dilakukan oleh pihak Ali dan Muawiyah, memberi pengaruh terhadap paham
teologisnya. Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran mereka berusaha
mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu,
sebagaimana tercermin di bawah ini:
1.
Mengakui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, sedangkan Usman dan Ali juga orang-orang yang
ikut dalam perang Unta dipandang telah bedosa.
2.
Dosa
dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengafirkan setiap pelaku
dosa besar apabila ia bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam paham
kaum khawarij.
3.
Khalifah
tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karena
itu, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4.
Ketaatan
kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan.
Jika menyimpang, wajib diperangi atau dibunuh.
5.
Mereka
menerima Al-Quran sebagai salah satu sumber di antara sumber-sumber Islam.
2.
Aliran
Murji’ah
Murjiah muncul sebagai reaksi
terhadap teori-teori yang bertentangan dengan Syiah dan khawarij, dimana kedua
aliran yang disebut terakhir ini sama-sama menentang rezim bani Umayyah.
Penentangan khawarij karena mereka dianggap menyeleweng dari ajaran Islam, sedangkan
penentangan Syiah karena mereka dianggap telah merampas kekuasaan dari pihak
Ali dan keturunannya.[5]
Murji’ah diambil dari kata Irja’ yang memiliki dua pengertian.
Pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua memberi harapan. Perkataan “al-irja”
pun mengandung arti penundaan pengadilan terhadap seseorang yang melakukan dosa
sampai hari kiamat. Dengan demikian di dunia tidak ada perhitungan untuk ahli
surga maupun ahli neraka.[6]
Adapun pahamnya
adalah pandangan netral tersebut, tampak pada penamaan aliran ini yang bersal
dari kata “arja’a” yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan
memberi pengharapan. Menangguhka berarti menunda masalah siksaan seseorang di
tangan tuhan, yakni jika tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga.
Jika sebaliknya maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. Namun pemahaman
keagamaan murji’ah dapat diintisarikan sebagai berikut.
Pertama, iman
cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun amal atau
perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan ini,
seseorang tetap dianggap mukmin walaupun melakukan dosa besar.
Kedua, dasar
keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman di hati,setiap
maksiat tidak akan mendatangkan mudarat atas diri seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan cukup menjauhi Syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
3.
Mu’tazilah
Mu’tazilah sangat berkembang
terutama pada masa pemerintahan Al-Makmun, seorang khilafah Dinasti bani
Abbasiyah yang sangat tertarik dengan filsafat Yunani. Secara harfiah kata
Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri,
yang berarti menjauh atau menjauhkan diri. Istilah mu’tazilah dibagi menjadi
dua golongan :
Golongan pertama muncul sebagai
respon politik murni, tumbuh sebagai kaum netral politi.
Golongan kedua muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah akibat
adanya peristiwa tahkim.[7]
Mu’tazilah memiliki lima pokok ajaran sebagai berikut,
Pertama, tauhid kaum
Mu’tazilah tidak mengakui sifat azali yang dimiliki Allah, seperti sifat ilmu,
hidup, mendengar dan melihat yang bukan Dzatnya. Akan tetapi Ia maha alim, maha
qadir, hidup, melihat dan mendengar dzat-Nya.
Kedua, adil, maha
adil dan keadilannya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Ketiga, kedudukan
antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain), mu’tazilah menempatkan
pelaku dosa besar pada posisi antara mukmin dan kafir, yaitu fasik. Pendapat
ini merupakan jalan tengah antara vonis yang dijatuhkan oleh pengikut khawarij
yang mengkafirkan pelaku dosa besar, dan pendapat kaum murjia’ah uyang
menganggap pelaku dosa besar tetap sebagai seorang mukmin.
Keempat, janji dan
ancaman. (al-wa’du wa al-wa’id) janji dan ancaman Allah adalah sebuah kepastian
adanya. Janji Allah maksudanya adalah pemberian pahala, sedangkan Ancaman-Nya
adalah hukuman.
Kelima, amar ma’ruf
nahi munkar, hal ini dapat penekanan kaum Mu’tazilah karena pada saat itu kaum
Zindiq tengah merajalela di masyarakat. Oleh karena itu, kaum mu’tazilah
menyerukan amar ma’ruf nahi munkar.[8]
4.
Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab,
yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut
pengertian terminologi qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, semua perilaku manusia murni
produk manusia itu sendiri. Adapun menurut Harun Nasution Qadariyah adalah
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.
Faham takdir dalam pandangan
Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab
saat itu yaitu faham bahwa nasib manusia sudah ditentukan dahulu. Manusia mempunyai
akal fikir yang mampu untuk berfikir kreatif, sehingga menurut qadariyah tidak
ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada
perbuatan Tuhan.[9]
5.
Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata
jabara yang berarti memaksa. Dalam al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa atau mengharuskannya
melakukan sesuatu. Namun paham jabariyah bisa diintikan sebagai paham yang
menyebutkan perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar
Tuhan.
Jabariyah
dibagi menjadi dua, jabariyah murni dan jabariyah moderat.[10]
Diantara doktrin yang dikemukakan oleh pemuka jabariyah, oleh Jahm
bin Shofwan yang mengatakan,
a.
Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa
b.
Surga
dan neraka tidak kekal
c.
Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
d.
Kalam
Tuhan adalah Makhluk.
Daftar pustaka
Muhammad bin ‘Abdul karim Syahrastani, sekte-sekte Islam bagian
tentang sekte-sekte Islam dalam kitab al-Milal wan-Nihal. Bandung: penerbit
pustaka, 1996.
Prof Dr Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu
kalam untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia.
Drs. Adeng Nuchtar Ghazali, M.Ag. perkembangan ilmu kalam dari
klasik hingga modern. Bandung: pustaka setia, 2003
Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. UI-Press :
Penerbit Universitas Indonesia, 2009
[1] . imam
tontowi, makalah ilmu kalam “sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu kalam ”
[2]. Prof Dr
Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN
dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia, hal. 13.
[3].
velianida, makalah ilmu kalam “sebab-sebab munculnya ilmu kalam”
[4]. Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. UI-Press :
Penerbit Universitas Indonesia, 2009. Hal. 13.
[5]Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. UI-Press :
Penerbit Universitas Indonesia, 2009. Hal. 90.
[6]Drs.
Adeng Nuchtar Ghazali, M.Ag. perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern.
Bandung: pustaka setia, 2003. Hal.90.
[7]Prof Dr
Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN
dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia, hal.77.
[8]Drs.
Adeng Nuchtar Ghazali, M.Ag. perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern.
Bandung: pustaka setia, 2003. Hal.96.
[9]Prof Dr
Abdul Rozak M.Ag dan Prof Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. ilmu kalam untuk UIN, STAIN
dan PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia, hal.74.
[10]Muhammad
bin ‘Abdul karim Syahrastani, sekte-sekte Islam bagian tentang sekte-sekte
Islam dalam kitab al-Milal wan-Nihal. Bandung: penerbit pustaka, 1996 hal 104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar