Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan
setiap orang dan setiap kelompok orang-orang; berlainan dengan hewan-hewan maka
manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu
mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah
laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau
memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor
hewan, selalu mengutik-ngutik lingkungan hidup alamiahnya, dan justru itulah
yang kita namakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat manusia-manusia
yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya. Kebudayaan meliputi segala
perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat
upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga mengenai
kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan,
pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, bala pecah, pakaian, cara-cara
untuk menghiasi rumah dan badannya. Itu semua termasuk kebudayaan, seperti juga
kesenia, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan “bangsa-bangsa alam”
itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan (baik ladang, maupun dari
wanita), erotik, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan satu
keseluruhan yang tak dapat dibagi-bagi menurut macam-macam kotak. Jadi, menurut
pandangan ini ruang lingkup kebudayaan sangat diperluas.
Pergeseran kedua yang terjadi dalam isi konsep kebudayaan ialah :
kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu
yang kaku atau statis. Dulu kata “kebudayaan” diartikan sebagai sebuah kata
benda, kini lebih sebagai kata kerja. Kebudayaan bukan lagi pertama-tama sebuah
koleksi barang-barang kebudayaan, seperti misalnya karya-karya kesenian,
buku-buku, alat-alat, apalagi jumlah museum, gedung-gedung universitas,
ruang-ruang konperensi, kantor-kantor pajak dsb. Bukan, kini kebudayaan terutama
dihubungkan dengan kegiatan manusia yang membuat alat-alat dan senjata-senjata,
dengan tat upacara tari-tarian dan mantera-mantera yang menenteramkan roh-roh
jahat, dengan cara anak-anak dididik dan orang-orang bercacat mental
diperlukan, dengan aneka pola kelakuan yang bertautan dengan erotik, resepsi
perkawinan, dsb.
Perkembangan kebudayaan harus dievaluasi. Ini berarti bahwa manusia
selalu harus mempersoalkan berlaku tidaknya paspor kebudayaan. Ia lalu menjadi
sadar, bahwa sering kali ada sesuatu yang tidak beres dan dengan demikian
mungkin, dengan jatuh dan bangun kembali, ia dapat maju. Satu setengah abad
yang lalu filsuf jerman, Immanuel Kant, sudah menulis, bahwa ciri khas
kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan
merupakan semacam sekolah dimana manusia bisa belajar.
Didalam belajar kebudayaan kita akan mendapatkan
fungsi-fungsi pemikiran ontologis yaitu cara yang membebaskan manusia dari
lingkaran mitologis, justru dengan mengambil jarak terhadap dunia yang
mengitarinya. Adapun fungsi pertamanya adalah membuat suatu peta
mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. sikap ontologis berusaha
menampakkan dunia transenden itu, dunia yang mengatsi manusia, bahkan
menjadikannya sesuatu yang dapat dimengerti. Fungsi keduanya adalah
jaminan mengenai hari ini, kita jumpai pula dalam sikap ontologis. Fungsi ketiga
adalah menyajikan pengetahuan.
Berbagai tahap dalam perkembangan kebudayaan menggambarkan
bagaimana manusia mencari hubungan yang paling tepat terhadap daya-daya
kekuatan sekitarnya. Dalam semua sikap nampaklah sebagai aspek pertama dalam
strategi serupa itu bagaimana manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan
sekitarnya atau menjadikan semuanya itu sesuatu yang dapat dialami dalam alam
pikiran mistis daya-daya kekuatan gaib itu dijadikan sesuatu yang dapat
diraba-raba, karena manusia dapat mengambil bagian dalam kekuatan tersebut
(partisipasi), misalnya dalam upacara, korban, tari-tarian dsb. Dalam alam
pikiran ontologi manusia menempatkan diri berhadapan dan kalau bisa lepas
terhadap daya-daya tersebut, sehingga dia dapat melukiskan dan membuat peta
mengenainya.
Hidup tidak hanya bertopang dagu, melainkan harus menyingsingkan
lengan baju. Pada dasarnya semua makhluk hidup akan memberi pengaruh terhadap
lingkungannya begitu juga sebaliknya, kehidupan makhluk hidup tegantung alam
sekitarnya. Semua makhluk khususnya manusia dituntut untuk selalu belajar
sehingga bisa memperoleh ilmu pengetahuan. Kondisi belajar manusia tentunya
akan berbeda dengan kondisi belajarnya hewan. Manusia belajar tentunya akan
mendapatkan ilmu dan menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk
lingkungan sekitar. Namun, tidak begitu dengan hewan, sering kita lihat banyak
hewan-hewan yang mampu menirukan bahkan mengerjakan pekerjaan manusia, tentunya
hewan tersebut dilatih oleh pemiliknya sehingga bisa menirukan dan berbuat
seperti yang diperbuat oleh manusia, tapi apa yang dilakukan hewan belum tentu
berpengaruh untuk alam sekitar. Kucing yang pandai tentu tidak dapat menularkan
kepandaiannya kepada anaknya.
Manusia mampu berbuat itu. Ia memiliki suatu bahan untuk membungkus
pesannya, ialah bahasa. Manusia dapat belajar lebih banyak dibandingkan
hewan-hewan, dan hasil pelajaran itu dapat dititipkan kepada bahasa, sehingga
angkatan mendatang dapat menampung hasil pelajaran itu. Di dalam keseharian
kita tentu akan banyak mendapati simbol dan tanda, ini muncul karena manusia
belajar. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau lambang.
Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandainya,
dimana ada asap disana ada api-asap merupakan tanda adanya api, seekor hewanpun
dapat menghafalkan tanda-tanda itu. Contoh yang cukup terkenal ialah percobaan
yang dilakukan oleh Pavlov: seekor anjing mulai berliur bila makanan
dimasukkan, bersamaan itu bel dibunyikan, akhirnya anjing itu akan berliur jika
bel dibunyikan, jadi bel tadi sudah menjadi tanda untuk makan. Namun bila
manusia belajar dia tidak hanya akan memahami tanda namun dapat membuat
tanda-tanda itu.
Seluruh kebudayaan merupakan sebuah proses belajar yang besar.
Demikian dalam bidang kesenian misalnya manusia akan terus menerus mencari
ekspresi bentuk baru. Dalam bidang religi manusia berusaha untuk menanggapi
kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda dan perbuatan yang terus
menerus diperbaharuinya. Kebudayaan sebagai suatu proses belajar tidak menjamin
kemajuan dan perbaikan sejati. Justru karena kebudayaan merupakan suatu proses
belajar maka kita harus bertanya apa kritrian dan tujuannya dan disinilah
dibutuhkan sebuah evaluasi. Dan perlu kita ketahui lambang-lambang yang
menceritakan suatu pengalamannya merupakan ilustrasi mengenai proses belajar
yang luas itu biasanya kita sebut kebudayaan.
(Strategi Kebudayaan Cornelis Anthonie van Peursen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar