Senin, 13 April 2015

Kebudayaan sebagai proses pembelajaran



Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang; berlainan dengan hewan-hewan maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, selalu mengutik-ngutik lingkungan hidup alamiahnya, dan justru itulah yang kita namakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat manusia-manusia yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, bala pecah, pakaian, cara-cara untuk menghiasi rumah dan badannya. Itu semua termasuk kebudayaan, seperti juga kesenia, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan “bangsa-bangsa alam” itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan (baik ladang, maupun dari wanita), erotik, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan satu keseluruhan yang tak dapat dibagi-bagi menurut macam-macam kotak. Jadi, menurut pandangan ini ruang lingkup kebudayaan sangat diperluas.
Pergeseran kedua yang terjadi dalam isi konsep kebudayaan ialah : kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku atau statis. Dulu kata “kebudayaan” diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih sebagai kata kerja. Kebudayaan bukan lagi pertama-tama sebuah koleksi barang-barang kebudayaan, seperti misalnya karya-karya kesenian, buku-buku, alat-alat, apalagi jumlah museum, gedung-gedung universitas, ruang-ruang konperensi, kantor-kantor pajak dsb. Bukan, kini kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia yang membuat alat-alat dan senjata-senjata, dengan tat upacara tari-tarian dan mantera-mantera yang menenteramkan roh-roh jahat, dengan cara anak-anak dididik dan orang-orang bercacat mental diperlukan, dengan aneka pola kelakuan yang bertautan dengan erotik, resepsi perkawinan, dsb.
Perkembangan kebudayaan harus dievaluasi. Ini berarti bahwa manusia selalu harus mempersoalkan berlaku tidaknya paspor kebudayaan. Ia lalu menjadi sadar, bahwa sering kali ada sesuatu yang tidak beres dan dengan demikian mungkin, dengan jatuh dan bangun kembali, ia dapat maju. Satu setengah abad yang lalu filsuf jerman, Immanuel Kant, sudah menulis, bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah dimana manusia bisa belajar.
            Didalam belajar kebudayaan kita akan mendapatkan fungsi-fungsi pemikiran ontologis yaitu cara yang membebaskan manusia dari lingkaran mitologis, justru dengan mengambil jarak terhadap dunia yang mengitarinya. Adapun fungsi pertamanya adalah membuat suatu peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. sikap ontologis berusaha menampakkan dunia transenden itu, dunia yang mengatsi manusia, bahkan menjadikannya sesuatu yang dapat dimengerti. Fungsi keduanya adalah jaminan mengenai hari ini, kita jumpai pula dalam sikap ontologis. Fungsi ketiga adalah menyajikan pengetahuan.
Berbagai tahap dalam perkembangan kebudayaan menggambarkan bagaimana manusia mencari hubungan yang paling tepat terhadap daya-daya kekuatan sekitarnya. Dalam semua sikap nampaklah sebagai aspek pertama dalam strategi serupa itu bagaimana manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya atau menjadikan semuanya itu sesuatu yang dapat dialami dalam alam pikiran mistis daya-daya kekuatan gaib itu dijadikan sesuatu yang dapat diraba-raba, karena manusia dapat mengambil bagian dalam kekuatan tersebut (partisipasi), misalnya dalam upacara, korban, tari-tarian dsb. Dalam alam pikiran ontologi manusia menempatkan diri berhadapan dan kalau bisa lepas terhadap daya-daya tersebut, sehingga dia dapat melukiskan dan membuat peta mengenainya.
Hidup tidak hanya bertopang dagu, melainkan harus menyingsingkan lengan baju. Pada dasarnya semua makhluk hidup akan memberi pengaruh terhadap lingkungannya begitu juga sebaliknya, kehidupan makhluk hidup tegantung alam sekitarnya. Semua makhluk khususnya manusia dituntut untuk selalu belajar sehingga bisa memperoleh ilmu pengetahuan. Kondisi belajar manusia tentunya akan berbeda dengan kondisi belajarnya hewan. Manusia belajar tentunya akan mendapatkan ilmu dan menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk lingkungan sekitar. Namun, tidak begitu dengan hewan, sering kita lihat banyak hewan-hewan yang mampu menirukan bahkan mengerjakan pekerjaan manusia, tentunya hewan tersebut dilatih oleh pemiliknya sehingga bisa menirukan dan berbuat seperti yang diperbuat oleh manusia, tapi apa yang dilakukan hewan belum tentu berpengaruh untuk alam sekitar. Kucing yang pandai tentu tidak dapat menularkan kepandaiannya kepada anaknya.
Manusia mampu berbuat itu. Ia memiliki suatu bahan untuk membungkus pesannya, ialah bahasa. Manusia dapat belajar lebih banyak dibandingkan hewan-hewan, dan hasil pelajaran itu dapat dititipkan kepada bahasa, sehingga angkatan mendatang dapat menampung hasil pelajaran itu. Di dalam keseharian kita tentu akan banyak mendapati simbol dan tanda, ini muncul karena manusia belajar. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandainya, dimana ada asap disana ada api-asap merupakan tanda adanya api, seekor hewanpun dapat menghafalkan tanda-tanda itu. Contoh yang cukup terkenal ialah percobaan yang dilakukan oleh Pavlov: seekor anjing mulai berliur bila makanan dimasukkan, bersamaan itu bel dibunyikan, akhirnya anjing itu akan berliur jika bel dibunyikan, jadi bel tadi sudah menjadi tanda untuk makan. Namun bila manusia belajar dia tidak hanya akan memahami tanda namun dapat membuat tanda-tanda itu.
Seluruh kebudayaan merupakan sebuah proses belajar yang besar. Demikian dalam bidang kesenian misalnya manusia akan terus menerus mencari ekspresi bentuk baru. Dalam bidang religi manusia berusaha untuk menanggapi kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda dan perbuatan yang terus menerus diperbaharuinya. Kebudayaan sebagai suatu proses belajar tidak menjamin kemajuan dan perbaikan sejati. Justru karena kebudayaan merupakan suatu proses belajar maka kita harus bertanya apa kritrian dan tujuannya dan disinilah dibutuhkan sebuah evaluasi. Dan perlu kita ketahui lambang-lambang yang menceritakan suatu pengalamannya merupakan ilustrasi mengenai proses belajar yang luas itu biasanya kita sebut kebudayaan.

(Strategi Kebudayaan Cornelis Anthonie van Peursen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar