Senin, 13 April 2015

Puisi Arab dan Teori Analisisnya



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Masalah
Secara bahasa, adab memiliki minimal tiga arti : sopan santun, ilmu humaniora dan sastra. Dalam pengertian sastra, adab (sastra) terbagi ke dalam dua bagian besar : al-adab al-wasfi (sastra deskriptif/nonimajinatif) dan al-adab al-isya’i (sastra kreatif). Al-adab al-wasfi sering disebut juga dengan Al-‘ulûm al-adabiyyah. Al-adab al-wasfi terdiri dari tiga bagian : sejarah sastra (tariikh adab), kritik sastra (naqd al-adab), dan teori sastra (nazariyah al-adab).
Sementara itu, al-adab al-insyai adalah ekspresi bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa, atau drama yang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari gaya bahasa biasa, karena mengandung aspek estetika bentuk dan makna (memuat rasa, imajinasi, dan pikiran), yang karenanya mempengaruhi rasa dan pikiran penikmatnya (pembaca atau pendengar), serta kekuatan isi sebagiannya mengajak mereka pada hal-hal etis. Dan adapun al-adab al-insya’i (sastra kreatif Arab) dibagi ke dalam tiga bagian besar : puisi (as-Syi’ir), prosa (nasr), dan drama (al-masrohiyah).[1]
Karya sastra terdiri atas dua jenis sastra (genre), yaitu prosa dan puisi. Biasanya, prosa disebut juga karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Prosa itu karangan bebas berarti bahwa prosa tidak terikat oleh aturan-aturan ketat. Puisi itu karangan terikat berarti puisi itu terikat oleh aturan-aturan ketat. Akan tetapi pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan-aturan yang ketat itu. Dengan demikian terjadilah kemudian dengan apa yang disebut sajak bebas. Akan tetapi, sungguhkah sajak itu bebas, sajak itu tetap tidak bebas, tetapi yang mengikat adalah hakikatnya sendiri, bukan aturan yang ditentukan oleh suatu yang diluar dirinya. Aturan di luar puisi itu ditentukan oleh penyair yang membuat dahulu atau masyarakat. Hal ini tampak pada puisi lama yang harusmengikuti aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu aturan bait, baris, jumlah kata dan pola sajak, terutama sajak akhir. Adapun karya sastra sendiri mempunyai fungsi sebagai,  sarana penyampaian pengalaman, sarana pengembangan Budaya, alat Kodifikasi Ajaran Agama, sebagai pilar politik, sosial dan ekonomi, sebagai Sarana Hiburan.[2]
Dalam studi atau pengajaran sastra Arab, baik dalam kritik, sejarah, maupun teorinya, puisi (syi’ir) menempati posisi yang sentral. Namun seringkali tampaknya kurang terelaborasi dengan baik. Puisi Arab pun acapkali dipersepsikan sebagai puisi yang bersifat tunggal yang mereka kenal di pesantren, baik pesantren modern maupun tradisional, atau bahkan saat sekolah di madrasah aliyah. Yaitu puisi yang terikat oleh prosodi/matra gaya lama(bahr), yang dalam beberapa literatur Arab sering disebut sebagai puisi lazim atau puisi qadim (klasik) atau puisi taqlidi (tradisional). Padahal dalam sejarah puisi Arab, seperti sejarah sastra Indonesia, bentuknya mengalami perkembangan dari model puisi klasik yang tradisional (terikat bahr) ke model puisi bebas (asy-si’r al-hurr). Sebelumnya, perkembangan puisi bebas ini diawali oleh lahirnya puisi mursal (yang rimanya berbeda, meski masih terikat dengan prosodi [matra] lama).
B.     Rumusan Masalah
Kajian mengenai sastra memang sangat luas, dari pengertian, metode dan teori-teorinya begitu banyak pembahasannya, karena luasnya pembahasan sastra, makalah ini akan fokus didalam dua pembahasan, dengan tujuan memudahkan untuk memahami secara singkat dan sederhana mengenai puisi, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Pengertian puisi Arab (Syi’ir)
2.    Teori-teori analisis puisi Arab (Syi’ir):
a.                   Teori Arudh
b.                   Teori Balaghah
c.                   Teori Romantik
d.                  Teori Realis
e.                   Teori Strukturalis
f.                    Teori semiotik
g.                   Teori Hermeneutik
h.                   Teori Bandingan
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian puisi Arab (Syi’ir)
Puisi adalah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tangapan khusus lewat bunyi, irama dan makna khusus. Puisi mencakup satuan yang kecil seperti sajak, pantun dan balada.[3] Sebagai makhluk yang penuh imaji, manusia mampu mengapresiasikan berbagai imaji dengan cara yang paling mesra, karenanya karya puisi lahir dengan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, realitas kehidupan yang bisa memberikan kepuasan estetis dan intelektual melalui medium bahasa.[4]
Menurut Ahmad Asy-Syayib, syi’ir atau puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qafiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa. Definisi ini lebih baik ketimbang para ahli sastra arab lainnya, termasuk di dalamnya para penulis kamus dan buku-buku sastra Arab modern, seperti Ahmad al-Iskandari yang mengutip para ahli ‘arud (bahr) dan semisal Qudamah bin ja’far. Meskipun definisi Qudamah menyebut keharusan puisi mengandung makna, tetapi definisi yang lainnya hanya berhenti pada keharusan adanya bahr dan qafiyah, sebuah definisi yang hanya menekankan pada bentuk luar. Tentu ini bisa dipahami, karena kuatnya tradisi ‘arud (bahr) dan qafiyah dalam tradisi Sastra Arab, dimana kepopuleran syi’ir hurr atau puisi bebas tampaknya masih jauh dibawah puisi tradisional. Adapun menurut Muhammad al-Kuttani dengan mengutip pendapat al-‘Aqqad yaitu ekspresi bahasa yang indah yang lahir dari gejolak jiwa yang benar.[5]
Syair dalam bahasa Arab ialah”syi’ir” yang menurut bahasa berasal dari kata “Sya’ara” artinya mengetahui atau merasakan. Menurut istilah syair ialah perkataan yang sengaja disusun menggunakan irama atau wazan Arab. Syair Arab adalah seni puisi yang dikembangkan bangsa Arab sepanjanh sejarah mereka, sejak zaman pra-islam hingga dewasa ini. Syair Arab tidak timbul sekaligus dalam bentuk yang sempurna, tetapi sedikit demi sedikit berkembang menuju kesempurnaa, yaitu mulai dari bentuk ungkapan kata yang bebas (mursal) menuju sajak, dan dari sajak menuju syair yang berbahar rajaz. Mulai dari sinilah Syair Arab dianggap sempurna dan berkembang membentuk qasidah yang terikat dengan wazan dan qafiyah.[6]
B.     Teori analisis puisi Arab
Sebagai salah satu bagian dari karya sastra, puisi diibaratkan barang yang indah yang belum mendapatkan sentuhan-sentuhan yang indah pula, ibarat rumah besar nan indah namun kosong dari barang-barang di dalamnya. Rumah akan terlihat indah ketika ada pagarnya, ada tanaman berupa bunga-bunga yang memperindah mata yang melihat, isi rumah yang ditata rapi nan menwan menambah keindahan rumah tersebut. Tentunya penilaian tentang rumah tersebut akan menambah pandangan-pandangan mengenai rumah tersebut yang na tinya akan muncul enterpretasi-enterpetasi dari setiap orang yang melihatnya. Begitu juga dengan puisi, puisi akan diketahui makna dan unsur-unsur keindahan di dalamnya dengan berbagai macam analisa. Dengan analisa-analisa maka suatui puisi akan mudah dipahami dan dimengerti oleh setiap pembaca.
Diantara analisis atau teori yang bisa digunakan untuk membedah suatu karya sastra khususnya puisi yang dalam pembahasan ini dikhususkan berupa puisi Arab (Syi’ir) diantaranya:
1.      Teori Arudh
Kata Arudh menurut etimologi mempunyai beberapa arti, antara lain: jalan yang sulit, arah, kayu yang menghalang di tengah rumah, makkah al-mukarramah dan Madinah al-Munawarrah. Dinamakan ilmu Arudh karena ketika la-Khalil bin Ahmad diilhami ilmu ini bertempat tinggal di al-Arudh, yaitu al-Makkah al-Mukarramah, ia menamakan demikian karena mengharap berkah dari Makkah.
Ilmu Arudh adalah ilmu yang mengetahui bentuk-bentuk wazan syair yang benar dan yang tidak benar, serta untuk mengetahui zihaf maupun illat, yakni perubahan pada bentuk wazan syair.[7]
Ilmu Arudh termasuk salah satu ilmu Bahasa Arab, berguna sekali bagi seseorang atau sastrawan yang ingin membaca dan mengubah syair Arab yang berbentuk Multazim atau syair Arab tradisional, yakni syair yang terikat dengan wazan dan qafiyah. Dengan menggunakan teori ini maka peneliti atau sastrawan bisa :
a.     Membedakan antara Syair dan bukan Syair
b.    Terhindar dari mencampuradukkan antara satu bahar dengan bahar lain, qatha dan sabab.
c.     Mempermudah membaca teks syi’r.
d.    Dapat mengetahui wazan.
e.    Memberikan petunjuk teknis penulisan syair bagi orang yang terpanggil untuk mengubah suatu syair.
Menggunakan teori arudh (Nadzariyah ‘Arudhiyah) bisa membahas tentang,[8]
a.    Bagian-bagian Syair seperti taf’ilah[9] yang berjumlah 10 Macam dan Maqta ‘Arudhi.
b.    Macam-macam bahar yang berjumlah 16.[10]
c.    Zihaf, Illat dan Illat jariyah Majrazzihaf.

2.      Teori Balaghoh.
Balaghoh mendatangkan makna yang agung dan jelas, menggunakan ungkapan yang fasih dan berkesan di lubuk hati sesuai dengan situasi dan kondisi yang diajak bicara. Secara ilmiah balaghoh merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan pada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam uslub(ungkapan). Kebiasaan mengkaji balaghoh merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat kesastraan dan menggiatkan kembali beberapa bakat yang terpendam. Dan untuk mencapai tingkatan itu diharapkan seseorang mampu memperbanyak bahan-bahan bacaan untuk menghasilkan sebuah analisis yang akurat dan akuntabel. Adapun unsur-unsur balaghah adalah kalimat, makna, dan susunan kalimat yang memberikan kekuatan, pengaruh dalam jiwa, dan keindahan.[11]
Teori balaghah merupakan teori tradisional dalam pengkajian sastra Arab di Indonesia. Meskipun tidak sama persis balaghah hampir sebanding dengan stilistika,yaitu ilmu yang mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya.[12]
Penggunaan teori balaghoh (nadzariyah Balaghiyah) dalam meneliti puisi biasanya peneliti ingin mengungkapkan suatu puisi dilihat dari macam bentuk-bentuknya, apakah puisi tersebut termasuk Tasybih (citraan visual), Majaz (bahasa Figuratif), isti’arah (Metafor).[13]
3.      Teori Romantik
Teori romantik atau aliran romantisme (al madrasah al-Rumantikiyah) adalah aliran yang mendasarkan ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan. Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu berusaha menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya dan sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa cela. Tujuan aliran ini adalah agar pembaca mampu tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak yang ada atau konflik yang ditonjolkan, biasanya disusun secara dramatis dan setuntas-tuntasnya. Jika kebahagiaan dan keindahan di sampaikan, kebahagiaan dan keindahan itu terlukis secara sempurna sekali. Aliran ini cenderung menggambarkan keindahan alam, kalaupun sedih akan membuat pembaca terkuras air matanya.[14]
Sebagian besar aliran ini tidak terikat oleh prosodi gaya lama, bahkan cenderung berkiblat ke barat. Ulama di zaman Abbasiyah yang menggunakan teori ini diantaranya Abu al-‘atahiyah dengan puisi lepasnya (al-Syi’ru al-Mursal). Adapun dalam sastra Arab, meskipun aliran ini lahir pada periode modern, tetapi secara praktik telah lahir sejak masa Arab klasik, Umru’ al-Qais adalah penyair aliran romantis masa jahiliyah yang cukup menonjol.[15]
4.      Teori Realis
Teori realis atau aliran realisme (al-madrasah al-waqi’iyah) adalah aliran yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya(relistis), bukan sebagaimana harusnya. Sastrawan dianggap sebagai juru potret, karena hasil potret tersebut umumnya persis seperti apa adanya. Para penggagas aliran ini menyarankan agar masyarakat sebagai sumber sastranya dan melukiskan kejadian secara teliti, tidak dilebihkan dan tidak dikurangi. Sastrawan Arab yang bisa dimasukkan kategori aliran realis adalah Yusuf Siba’i, Mahmud Timur, Thaha Husein dan Najib Mahfuz.[16]
5.      Teori Strukturalis (al-Binaiyah)
Dalam ilmu sastra pengertian “strukturalisme” sudah dipergunakan dengan berbagai cara. Yang dimaksud dengan isltilah “struktur” adalah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya, misalnya pelaku-pelaku dalam novel atau puisi dapat dibagi menurut kelompok-kelompok berikut: tokoh utama, mereka yang melawannya, mereka yang membantunya dan seterusnya. Pembagian menurut kelompok-kelompok didasarkan atas kaitan dan hubungan.[17]
Pendekatan yang dipakai kaum formalis itu kemudian berkembang di beberapa negara di Barat menjadi aliran kritik sastra baru yang kemudian dikenal dengan strukturalisme. Dalam garis besarnya, aliran strukturalisme memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat. Kritik sastra struktural adalah kritik objektif yang menekankan aspek intrinsik karya sastra dimana yang menentukan estetikanya tidak saja estetika bahasa yang digunakan, tapi juga relasi antar unsur. Kalau di dalam puisi terdiri dari tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama (wazan/bahr), rima/persajakan (qafiyah), diksi atau pilihan kata dan enjambemen.[18]
6.      Teori Semiotik
Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang mempelajari masalah ini adalah semiologi yang juga dikatakan ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra. Adapun penelitian semiotik adalah studi tentang tanda, karya sastra akan dibahas sebagai tanda-tanda.[19] Sastra dipandang sebagai sebuah sistem tanda sekunder, mempelajari bahasa alami dalam sastra.[20]
Semiotik dalam kamus sastra Arab seperti kamus Mustalahat al-Adab karya Majdi Wahbah disebut dengan ‘ilmu al-Alamat atau ilmu tanda. Kata semiotik diperkenalkan oleh Charles Sanders Pierce di Amerika Serikat, adapun Semiologi oleh Ferdinand De Saussure di Perancis. Setiap karya sastra telah mengalami dfamiliarisasi dan deotomatisasi, menurut Riffaterre, defamiliarisasi dan deotonomisasi itu terjadi dalam tiga bentuk:
a.    Penggantian arti dengan menggunakan metafora, baik yang eksplisit mupun implisit (tasybih dan Isti’arah).
b.   Penyimpangan arti karena ambiguitas (semacam tauriyah dalam metode Kritik Arab) seperti kata “hilang bentuk” dalam puisi Doa Chairil Anwar; karena kontradiksi (semacam Tibaq dan Muqabalah dalam metode Kritik Arab), dalam sastra Arab gaya penulisan ninsense ini terdapat dalam penggunaan tambahan kata demi qafiyah atau bahr.
c.    Penciptaan arti yang terdapat dalam bentuk visual teks yang secara linguistik tidak punya arti seperti pembaitan, persajakan dan lain-lain.[21]
7.      Teori Hermeneutik
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa yunani yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama dewa Yunani yang menyamoaikan pesan ilahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan. Sebagai metode untuk memahami agama ini teat juga untuk memahami karya sastra.[22]
Dalam pembacaan Hermeneutika, seorang penkaji teks, termasuk didalamnya teks sastra, harus berusaha memahami secara kreatif makna sastra yang ada dibalik struktur. Dalam hal ini, hermeneutika mengacu pada makna/pesan teks yang bersifat inner, transendental, dan latent/terembunyi, tidak pada yang manifest/nyata. Tujuannya untuk mendapatkan cakrawala yang dikehendaki sesungguhnya oleh teks yang dalam sastra umumnya (terutama dalam puisi) bersifat simbolik dan metaforik. Dalam bahasa simbolik, terdapat makna lapis pertama (makna resensial atau denotatif) yang bisa ditangkap dengan pemahaman bersahaja dan makna konotatif atau segestif yang tersembunyi di balik makna paling dalam dan tinggi.[23]
Dalam tradisi Arab atau Islam, hermeneutika modern Barat sebanding dengan ta’wil yang berarti mengembalikan makna pada makna yang sebenarnya atau hakikat yang terakhir. Dalam Literatur kritik Sastra, diantara tokoh kritikus sastra Arab yang memntingkan ta’wil adalah ‘abdul al-Qahir al-Jurjani (400-471 H).[24]
8.      Teori Bandingan
Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipler, yakni lebih banyak memperhatkan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah geografis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan.
Adapun tujuan sastra bandingan adalah:
a.        Untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya di dalam dunia sastra.
b.        Untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra.
c.        Menghilangkan kesan karya sastra tertentu lebih baik dari karya sastra lainnya.
d.       Mencari keragaman budaya yang terpantul dari karya sastra satu dengan lainnya.
e.        Memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal sastra.
f.         Menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya sastra.[25]
Pada umumnya sastra bandingan secara praktek baik di barat maupun Timur melandaskan diri pada afinitas, tradisi dan pengaruh. Makna kekerabatan, kesamaan unsur dan hubungan antar jenis dalam ilmu sastra bandingan adalah keterkaitan unsur-unsur intrinsik karya sastra, misalnya unsur struktur, gaya, tema/ide, mood/suasana yang terkandung dalam karya sastra yang dijadikan bahan penulisan karya sastra. Misalnya, penyair Goenawan Mohamad mencipta sajak “Dongeng sebelum tidur” dan “Asmaradana”, secara tidak langsung ia menggunakan bahan dari cerita Anglingdarma dan Damarwulan yang berasal dari sastra jawa lama (lihat buku Asmaradana, kumpulan sajak Goenawan Mohamad, 1992).[26]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Semakin hari disiplin ilmu pengetahuan selalu berubah dan berkembang, ilmu tidak akan pernah berhenti dari perkembangannya. Sastra sangat luas cakupannya, seperti yang kita ketahui karya sastra ada dua puisi dan prosa. Puisi sendiri khususnya puisi Arab sudah ada sejak zaman Jahiliyah, diantara yang terkenal adalah umru’ul Qais, Zuhair bin Abi Sulma dan Nabighan Ad-Dzibyani. Seiring berkembangnya zaman puisi sendiri membutuhkan banyak ilmu-ilmu bantu lainnya untuk menelaah lebih dalam lagi mengenai isi dan maknanya.
Teori-teori yang sering digunakan untuk mengupas puisi sendiri ada banyak, namun di dalam makalah ini penulis hanya menyebutkan Teori Arudh, Teori Balaghah, Teori Romantik, Teori Realis, Teori Strukturalis,Teori semiotik,Teori Hermeneutik, Teori Bandingan.
Sebagai bagian dari masyarakat akademis tentunya kita dituntut untuk ikut andil mengembangkan ilmu-ilmu yang ada dan dalam kesempatan saat ini adalah puisi Arab, kontribusi pemikiran-pemikiran sangat ditunggu oleh khalayak ramai guna menambah wawasan dan menjadi warisan keilmuan yang penting guna menyokong berlangsungnya disiplin ilmu  Teori Puisi Arab.









B.  Daftar Pustaka
Ali al-jarim dan Musthafa Amin, terjemahan al-Balaaghatul Waadhihah. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Fathurrahman Rauf, Fungsi sastra bagi kehidupan Manusia, al-Turas mimbar sejarah, sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta. Vol. 6 No.10, Juni 2000.
Jan van Luxemburgh, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT Gramedia 1984.
Nawawi dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah. Jakarta: Wardah Press, 2010.
Nyoman Kutha Ratna, SU, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004.
Siti Anshoriyah, Abu Nuwas intelektual dan Humanitas Puisi, al-Turas mimbar sejarah, sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta, Vol. 10, no 3, September 2004.
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Suripan Sadi Utomo, Merambah Matahari sastra dalam bandingan hal 12. Dalam diktat sastra banding mazhab Eropa dan Amerika oleh Syukron Kamil. Fakultas Adab UIN Jakarta.
Sutarno, Menulis yang efektif, Jakarta: CV Sagung Seto, 2008.
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.


[1] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 5-6.
[2] Fathurrahman Rauf, Fungsi sastra bagi kehidupan Manusia, al-Turas mimbar sejarah, sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta. Vol. 6 No.10, Juni 2000. Hal 1-7.
[3] Sutarno, Menulis yang efektif, Jakarta: CV Sagung Seto, 2008. Hal 64.
[4] Siti Anshoriyah, Abu Nuwas intelektual dan Humanitas Puisi, al-Turas mimbar sejarah, sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta, Vol. 10, no 3, September 2004, hal 203.
[5] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 10-11.
[6] Nawawi dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah. Jakarta: Wardah Press, 2010, hal 18.
[7] Nawawi dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah. Jakarta: Wardah Press, 2010, hal 17.
[8] Nawawi dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah. Jakarta: Wardah Press, 2010, hal 21-26.
[9] فاعلن، فعولن، مفاعيلن، مستفعلن، مفاعلتن، متفاعلن، مفعولات، فاع لاتن، مستفع لن، فاعلاتن
[10] Bahar Thawil, Bahar Madid, Bahar Basith, Bahar Wafir, Bahar Kamil, Bahar Hajaz, Bahar Rajaz, Bahar Ramal, Bahar Sari’, Bahar Munsarih, Bahar Khafif, Bahar Mudhari’, Bahar Muqtadhab, Bahar Mujtats, Bahar Mutaqarib dan Bahar Mutadarik.
[11] Ali al-jarim dan Musthafa Amin, terjemahan al-Balaaghatul Waadhihah. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, hal 6.
[12] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 140.
[13] Ibid, hal 145.
[14] Ibid, hal 165.
[15] Ibid, hal 167.
[16] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 168-171.
[17] Jan van Luxemburgh, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT Gramedia 1984, hal 36.
[18] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 182-184.
[19] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal 64.
[20] Jan van Luxemburgh, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT Gramedia 1984, hal 45.
[21] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 206.
[22] Nyoman Kutha Ratna, SU, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004, hal 45.
[23] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Hal 222.
[24] Ibid, hal 235.
[25] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal 128-129.
[26] Suripan Sadi Utomo, Merambah Matahari sastra dalam bandingan hal 12. Dalam diktat sastra banding mazhab Eropa dan Amerika oleh Syukron Kamil. Fakultas Adab UIN Jakarta.

3 komentar: