BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Secara bahasa,
adab memiliki minimal tiga arti : sopan santun, ilmu humaniora dan sastra.
Dalam pengertian sastra, adab (sastra) terbagi ke dalam dua bagian besar :
al-adab al-wasfi (sastra deskriptif/nonimajinatif) dan al-adab al-isya’i
(sastra kreatif). Al-adab al-wasfi sering disebut juga dengan Al-‘ulûm
al-adabiyyah. Al-adab al-wasfi terdiri dari tiga bagian : sejarah sastra
(tariikh adab), kritik sastra (naqd al-adab), dan teori sastra (nazariyah
al-adab).
Sementara itu,
al-adab al-insyai adalah ekspresi bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa,
atau drama yang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari gaya bahasa biasa,
karena mengandung aspek estetika bentuk dan makna (memuat rasa, imajinasi, dan
pikiran), yang karenanya mempengaruhi rasa dan pikiran penikmatnya (pembaca
atau pendengar), serta kekuatan isi sebagiannya mengajak mereka pada hal-hal
etis. Dan adapun al-adab al-insya’i (sastra kreatif Arab) dibagi ke dalam tiga
bagian besar : puisi (as-Syi’ir), prosa (nasr), dan drama (al-masrohiyah).[1]
Karya sastra
terdiri atas dua jenis sastra (genre), yaitu prosa dan puisi. Biasanya, prosa
disebut juga karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Prosa
itu karangan bebas berarti bahwa prosa tidak terikat oleh aturan-aturan ketat.
Puisi itu karangan terikat berarti puisi itu terikat oleh aturan-aturan ketat.
Akan tetapi pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari
aturan-aturan yang ketat itu. Dengan demikian terjadilah kemudian dengan apa
yang disebut sajak bebas. Akan tetapi, sungguhkah sajak itu bebas, sajak itu
tetap tidak bebas, tetapi yang mengikat adalah hakikatnya sendiri, bukan aturan
yang ditentukan oleh suatu yang diluar dirinya. Aturan di luar puisi itu
ditentukan oleh penyair yang membuat dahulu atau masyarakat. Hal ini tampak
pada puisi lama yang harusmengikuti aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar,
yaitu aturan bait, baris, jumlah kata dan pola sajak, terutama sajak akhir.
Adapun karya sastra sendiri mempunyai fungsi sebagai, sarana penyampaian pengalaman, sarana
pengembangan Budaya, alat Kodifikasi Ajaran Agama, sebagai pilar politik,
sosial dan ekonomi, sebagai Sarana Hiburan.[2]
Dalam studi
atau pengajaran sastra Arab, baik dalam kritik, sejarah, maupun teorinya, puisi
(syi’ir) menempati posisi yang sentral. Namun seringkali tampaknya kurang
terelaborasi dengan baik. Puisi Arab pun acapkali dipersepsikan sebagai puisi
yang bersifat tunggal yang mereka kenal di pesantren, baik pesantren modern
maupun tradisional, atau bahkan saat sekolah di madrasah aliyah. Yaitu puisi
yang terikat oleh prosodi/matra gaya lama(bahr), yang dalam beberapa literatur
Arab sering disebut sebagai puisi lazim atau puisi qadim (klasik) atau puisi
taqlidi (tradisional). Padahal dalam sejarah puisi Arab, seperti sejarah sastra
Indonesia, bentuknya mengalami perkembangan dari model puisi klasik yang
tradisional (terikat bahr) ke model puisi bebas (asy-si’r al-hurr). Sebelumnya,
perkembangan puisi bebas ini diawali oleh lahirnya puisi mursal (yang rimanya
berbeda, meski masih terikat dengan prosodi [matra] lama).
B.
Rumusan
Masalah
Kajian mengenai sastra memang sangat luas, dari
pengertian, metode dan teori-teorinya begitu banyak pembahasannya, karena
luasnya pembahasan sastra, makalah ini akan fokus didalam dua pembahasan,
dengan tujuan memudahkan untuk memahami secara singkat dan sederhana mengenai
puisi, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Pengertian puisi Arab (Syi’ir)
2.
Teori-teori analisis puisi Arab (Syi’ir):
a.
Teori Arudh
b.
Teori Balaghah
c.
Teori Romantik
d.
Teori Realis
e.
Teori Strukturalis
f.
Teori semiotik
g.
Teori Hermeneutik
h.
Teori Bandingan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
puisi Arab (Syi’ir)
Puisi adalah jenis sastra yang bentuknya
dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang
akan suatu pengalaman dan membangkitkan tangapan khusus lewat bunyi, irama dan
makna khusus. Puisi mencakup satuan yang kecil seperti sajak, pantun dan
balada.[3] Sebagai
makhluk yang penuh imaji, manusia mampu mengapresiasikan berbagai imaji dengan
cara yang paling mesra, karenanya karya puisi lahir dengan dorongan dasar
manusia untuk mengungkapkan dirinya, realitas kehidupan yang bisa memberikan
kepuasan estetis dan intelektual melalui medium bahasa.[4]
Menurut Ahmad Asy-Syayib, syi’ir atau puisi
Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti
prosodi atau ritme gaya lama) dan qafiyah (rima akhir atau kesesuaian
akhir baris/satr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih
dominan dibanding prosa. Definisi ini lebih baik ketimbang para ahli sastra
arab lainnya, termasuk di dalamnya para penulis kamus dan buku-buku sastra Arab
modern, seperti Ahmad al-Iskandari yang mengutip para ahli ‘arud (bahr)
dan semisal Qudamah bin ja’far. Meskipun definisi Qudamah menyebut keharusan
puisi mengandung makna, tetapi definisi yang lainnya hanya berhenti pada
keharusan adanya bahr dan qafiyah, sebuah definisi yang hanya
menekankan pada bentuk luar. Tentu ini bisa dipahami, karena kuatnya tradisi
‘arud (bahr) dan qafiyah dalam tradisi Sastra Arab, dimana kepopuleran syi’ir
hurr atau puisi bebas tampaknya masih jauh dibawah puisi tradisional. Adapun
menurut Muhammad al-Kuttani dengan mengutip pendapat al-‘Aqqad yaitu ekspresi
bahasa yang indah yang lahir dari gejolak jiwa yang benar.[5]
Syair dalam bahasa Arab ialah”syi’ir” yang
menurut bahasa berasal dari kata “Sya’ara” artinya mengetahui atau merasakan.
Menurut istilah syair ialah perkataan yang sengaja disusun menggunakan irama
atau wazan Arab. Syair Arab adalah seni puisi yang dikembangkan bangsa Arab
sepanjanh sejarah mereka, sejak zaman pra-islam hingga dewasa ini. Syair Arab
tidak timbul sekaligus dalam bentuk yang sempurna, tetapi sedikit demi sedikit
berkembang menuju kesempurnaa, yaitu mulai dari bentuk ungkapan kata yang bebas
(mursal) menuju sajak, dan dari sajak menuju syair yang berbahar rajaz. Mulai
dari sinilah Syair Arab dianggap sempurna dan berkembang membentuk qasidah yang
terikat dengan wazan dan qafiyah.[6]
B.
Teori
analisis puisi Arab
Sebagai salah satu bagian dari karya sastra,
puisi diibaratkan barang yang indah yang belum mendapatkan sentuhan-sentuhan
yang indah pula, ibarat rumah besar nan indah namun kosong dari barang-barang
di dalamnya. Rumah akan terlihat indah ketika ada pagarnya, ada tanaman berupa
bunga-bunga yang memperindah mata yang melihat, isi rumah yang ditata rapi nan
menwan menambah keindahan rumah tersebut. Tentunya penilaian tentang rumah
tersebut akan menambah pandangan-pandangan mengenai rumah tersebut yang na
tinya akan muncul enterpretasi-enterpetasi dari setiap orang yang melihatnya.
Begitu juga dengan puisi, puisi akan diketahui makna dan unsur-unsur keindahan
di dalamnya dengan berbagai macam analisa. Dengan analisa-analisa maka suatui
puisi akan mudah dipahami dan dimengerti oleh setiap pembaca.
Diantara analisis atau teori yang bisa
digunakan untuk membedah suatu karya sastra khususnya puisi yang dalam pembahasan
ini dikhususkan berupa puisi Arab (Syi’ir) diantaranya:
1.
Teori
Arudh
Kata Arudh menurut etimologi mempunyai beberapa
arti, antara lain: jalan yang sulit, arah, kayu yang menghalang di tengah
rumah, makkah al-mukarramah dan Madinah al-Munawarrah. Dinamakan ilmu Arudh
karena ketika la-Khalil bin Ahmad diilhami ilmu ini bertempat tinggal di
al-Arudh, yaitu al-Makkah al-Mukarramah, ia menamakan demikian karena mengharap
berkah dari Makkah.
Ilmu Arudh adalah ilmu yang mengetahui
bentuk-bentuk wazan syair yang benar dan yang tidak benar, serta untuk
mengetahui zihaf maupun illat, yakni perubahan pada bentuk wazan
syair.[7]
Ilmu Arudh termasuk salah satu ilmu Bahasa
Arab, berguna sekali bagi seseorang atau sastrawan yang ingin membaca dan
mengubah syair Arab yang berbentuk Multazim atau syair Arab tradisional, yakni
syair yang terikat dengan wazan dan qafiyah. Dengan menggunakan teori ini maka
peneliti atau sastrawan bisa :
a.
Membedakan antara Syair dan bukan Syair
b.
Terhindar dari mencampuradukkan antara satu
bahar dengan bahar lain, qatha dan sabab.
c.
Mempermudah membaca teks syi’r.
d.
Dapat mengetahui wazan.
e.
Memberikan petunjuk teknis penulisan syair bagi
orang yang terpanggil untuk mengubah suatu syair.
Menggunakan
teori arudh (Nadzariyah ‘Arudhiyah) bisa membahas tentang,[8]
a.
Bagian-bagian Syair seperti taf’ilah[9] yang
berjumlah 10 Macam dan Maqta ‘Arudhi.
b.
Macam-macam bahar yang berjumlah 16.[10]
c.
Zihaf, Illat dan Illat jariyah Majrazzihaf.
2.
Teori
Balaghoh.
Balaghoh mendatangkan makna yang agung dan
jelas, menggunakan ungkapan yang fasih dan berkesan di lubuk hati sesuai dengan
situasi dan kondisi yang diajak bicara. Secara ilmiah balaghoh merupakan suatu
disiplin ilmu yang berlandaskan pada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap
keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam uslub(ungkapan).
Kebiasaan mengkaji balaghoh merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat
kesastraan dan menggiatkan kembali beberapa bakat yang terpendam. Dan untuk mencapai
tingkatan itu diharapkan seseorang mampu memperbanyak bahan-bahan bacaan untuk
menghasilkan sebuah analisis yang akurat dan akuntabel. Adapun unsur-unsur
balaghah adalah kalimat, makna, dan susunan kalimat yang memberikan kekuatan,
pengaruh dalam jiwa, dan keindahan.[11]
Teori balaghah merupakan teori tradisional
dalam pengkajian sastra Arab di Indonesia. Meskipun tidak sama persis balaghah
hampir sebanding dengan stilistika,yaitu ilmu yang mengkaji cara sastrawan
memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan
efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya.[12]
Penggunaan teori balaghoh (nadzariyah
Balaghiyah) dalam meneliti puisi biasanya peneliti ingin mengungkapkan
suatu puisi dilihat dari macam bentuk-bentuknya, apakah puisi tersebut termasuk
Tasybih (citraan visual), Majaz (bahasa Figuratif), isti’arah
(Metafor).[13]
3.
Teori
Romantik
Teori romantik atau aliran romantisme (al
madrasah al-Rumantikiyah) adalah aliran yang mendasarkan ungkapan perasaan
sebagai dasar perwujudan. Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu
berusaha menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya
dan sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa cela. Tujuan aliran ini adalah
agar pembaca mampu tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak yang
ada atau konflik yang ditonjolkan, biasanya disusun secara dramatis dan
setuntas-tuntasnya. Jika kebahagiaan dan keindahan di sampaikan, kebahagiaan
dan keindahan itu terlukis secara sempurna sekali. Aliran ini cenderung
menggambarkan keindahan alam, kalaupun sedih akan membuat pembaca terkuras air
matanya.[14]
Sebagian besar aliran ini tidak terikat oleh
prosodi gaya lama, bahkan cenderung berkiblat ke barat. Ulama di zaman
Abbasiyah yang menggunakan teori ini diantaranya Abu al-‘atahiyah dengan puisi
lepasnya (al-Syi’ru al-Mursal). Adapun dalam sastra Arab, meskipun aliran ini
lahir pada periode modern, tetapi secara praktik telah lahir sejak masa Arab
klasik, Umru’ al-Qais adalah penyair aliran romantis masa jahiliyah yang cukup
menonjol.[15]
4.
Teori
Realis
Teori realis atau aliran realisme (al-madrasah
al-waqi’iyah) adalah aliran yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa
adanya(relistis), bukan sebagaimana harusnya. Sastrawan dianggap sebagai juru
potret, karena hasil potret tersebut umumnya persis seperti apa adanya. Para
penggagas aliran ini menyarankan agar masyarakat sebagai sumber sastranya dan
melukiskan kejadian secara teliti, tidak dilebihkan dan tidak dikurangi. Sastrawan
Arab yang bisa dimasukkan kategori aliran realis adalah Yusuf Siba’i, Mahmud
Timur, Thaha Husein dan Najib Mahfuz.[16]
5.
Teori
Strukturalis (al-Binaiyah)
Dalam ilmu sastra pengertian “strukturalisme”
sudah dipergunakan dengan berbagai cara. Yang dimaksud dengan isltilah
“struktur” adalah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala.
Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya,
misalnya pelaku-pelaku dalam novel atau puisi dapat dibagi menurut
kelompok-kelompok berikut: tokoh utama, mereka yang melawannya, mereka yang
membantunya dan seterusnya. Pembagian menurut kelompok-kelompok didasarkan atas
kaitan dan hubungan.[17]
Pendekatan yang dipakai kaum formalis itu
kemudian berkembang di beberapa negara di Barat menjadi aliran kritik sastra
baru yang kemudian dikenal dengan strukturalisme. Dalam garis besarnya, aliran
strukturalisme memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra
itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai
penikmat. Kritik sastra struktural adalah kritik objektif yang menekankan aspek
intrinsik karya sastra dimana yang menentukan estetikanya tidak saja estetika
bahasa yang digunakan, tapi juga relasi antar unsur. Kalau di dalam puisi
terdiri dari tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang,
ritme atau irama (wazan/bahr), rima/persajakan (qafiyah), diksi atau pilihan
kata dan enjambemen.[18]
6.
Teori
Semiotik
Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi
pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa akan membentuk
sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang mempelajari masalah ini
adalah semiologi yang juga dikatakan ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam
karya sastra. Adapun penelitian semiotik adalah studi tentang tanda, karya
sastra akan dibahas sebagai tanda-tanda.[19] Sastra
dipandang sebagai sebuah sistem tanda sekunder, mempelajari bahasa alami dalam
sastra.[20]
Semiotik dalam kamus sastra Arab seperti kamus
Mustalahat al-Adab karya Majdi Wahbah disebut dengan ‘ilmu al-Alamat atau ilmu
tanda. Kata semiotik diperkenalkan oleh Charles Sanders Pierce di Amerika
Serikat, adapun Semiologi oleh Ferdinand De Saussure di Perancis. Setiap karya
sastra telah mengalami dfamiliarisasi dan deotomatisasi, menurut Riffaterre,
defamiliarisasi dan deotonomisasi itu terjadi dalam tiga bentuk:
a.
Penggantian arti dengan menggunakan metafora,
baik yang eksplisit mupun implisit (tasybih dan Isti’arah).
b.
Penyimpangan arti karena ambiguitas (semacam
tauriyah dalam metode Kritik Arab) seperti kata “hilang bentuk” dalam puisi Doa
Chairil Anwar; karena kontradiksi (semacam Tibaq dan Muqabalah dalam metode
Kritik Arab), dalam sastra Arab gaya penulisan ninsense ini terdapat dalam
penggunaan tambahan kata demi qafiyah atau bahr.
c.
Penciptaan arti yang terdapat dalam bentuk
visual teks yang secara linguistik tidak punya arti seperti pembaitan,
persajakan dan lain-lain.[21]
7.
Teori
Hermeneutik
Secara etimologis hermeneutika berasal dari
kata hermeneuein, bahasa yunani yang berarti menafsirkan atau
menginterpretasikan. Secara mitologis hermeneutika dikaitkan dengan Hermes,
nama dewa Yunani yang menyamoaikan pesan ilahi kepada manusia. Pada dasarnya
medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Jadi, penafsiran
disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu
ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak
lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja
disembunyikan. Sebagai metode untuk memahami agama ini teat juga untuk memahami
karya sastra.[22]
Dalam pembacaan Hermeneutika, seorang penkaji
teks, termasuk didalamnya teks sastra, harus berusaha memahami secara kreatif
makna sastra yang ada dibalik struktur. Dalam hal ini, hermeneutika mengacu
pada makna/pesan teks yang bersifat inner, transendental, dan
latent/terembunyi, tidak pada yang manifest/nyata. Tujuannya untuk mendapatkan
cakrawala yang dikehendaki sesungguhnya oleh teks yang dalam sastra umumnya
(terutama dalam puisi) bersifat simbolik dan metaforik. Dalam bahasa simbolik,
terdapat makna lapis pertama (makna resensial atau denotatif) yang bisa
ditangkap dengan pemahaman bersahaja dan makna konotatif atau segestif yang
tersembunyi di balik makna paling dalam dan tinggi.[23]
Dalam tradisi Arab atau Islam, hermeneutika
modern Barat sebanding dengan ta’wil yang berarti mengembalikan makna pada
makna yang sebenarnya atau hakikat yang terakhir. Dalam Literatur kritik
Sastra, diantara tokoh kritikus sastra Arab yang memntingkan ta’wil adalah ‘abdul
al-Qahir al-Jurjani (400-471 H).[24]
8.
Teori
Bandingan
Sastra bandingan adalah sebuah studi teks
across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipler, yakni lebih banyak
memperhatkan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu,
sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda.
Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah
geografis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang
cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan
tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna
merunut keterkaitan antar aspek kehidupan.
Adapun tujuan sastra bandingan adalah:
a.
Untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan
yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya di dalam dunia sastra.
b.
Untuk menentukan mana karya sastra yang
benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra.
c.
Menghilangkan kesan karya sastra tertentu lebih
baik dari karya sastra lainnya.
d.
Mencari keragaman budaya yang terpantul dari
karya sastra satu dengan lainnya.
e.
Memperkokoh keuniversalan konsep-konsep
keindahan universal sastra.
f.
Menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan
keindahan karya sastra.[25]
Pada umumnya
sastra bandingan secara praktek baik di barat maupun Timur melandaskan diri
pada afinitas, tradisi dan pengaruh. Makna kekerabatan, kesamaan unsur dan
hubungan antar jenis dalam ilmu sastra bandingan adalah keterkaitan unsur-unsur
intrinsik karya sastra, misalnya unsur struktur, gaya, tema/ide, mood/suasana
yang terkandung dalam karya sastra yang dijadikan bahan penulisan karya sastra.
Misalnya, penyair Goenawan Mohamad mencipta sajak “Dongeng sebelum tidur” dan
“Asmaradana”, secara tidak langsung ia menggunakan bahan dari cerita
Anglingdarma dan Damarwulan yang berasal dari sastra jawa lama (lihat buku
Asmaradana, kumpulan sajak Goenawan Mohamad, 1992).[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Semakin hari disiplin ilmu pengetahuan selalu berubah dan
berkembang, ilmu tidak akan pernah berhenti dari perkembangannya. Sastra sangat
luas cakupannya, seperti yang kita ketahui karya sastra ada dua puisi dan
prosa. Puisi sendiri khususnya puisi Arab sudah ada sejak zaman Jahiliyah,
diantara yang terkenal adalah umru’ul Qais, Zuhair bin Abi Sulma dan Nabighan
Ad-Dzibyani. Seiring berkembangnya zaman puisi sendiri membutuhkan banyak
ilmu-ilmu bantu lainnya untuk menelaah lebih dalam lagi mengenai isi dan
maknanya.
Teori-teori yang sering digunakan untuk mengupas puisi sendiri ada
banyak, namun di dalam makalah ini penulis hanya menyebutkan Teori Arudh, Teori
Balaghah, Teori Romantik, Teori Realis, Teori Strukturalis,Teori semiotik,Teori
Hermeneutik, Teori Bandingan.
Sebagai bagian dari masyarakat akademis tentunya kita dituntut
untuk ikut andil mengembangkan ilmu-ilmu yang ada dan dalam kesempatan saat ini
adalah puisi Arab, kontribusi pemikiran-pemikiran sangat ditunggu oleh khalayak
ramai guna menambah wawasan dan menjadi warisan keilmuan yang penting guna
menyokong berlangsungnya disiplin ilmu
Teori Puisi Arab.
B. Daftar Pustaka
Ali al-jarim
dan Musthafa Amin, terjemahan al-Balaaghatul Waadhihah. Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1994.
Fathurrahman
Rauf, Fungsi sastra bagi kehidupan Manusia, al-Turas mimbar sejarah,
sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta. Vol. 6
No.10, Juni 2000.
Jan van
Luxemburgh, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta:
PT Gramedia 1984.
Nawawi dan
Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah.
Jakarta: Wardah Press, 2010.
Nyoman Kutha
Ratna, SU, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2004.
Siti
Anshoriyah, Abu Nuwas intelektual dan Humanitas Puisi, al-Turas mimbar
sejarah, sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta,
Vol. 10, no 3, September 2004.
Sukron Kamil, Teori
Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Suripan Sadi
Utomo, Merambah Matahari sastra dalam bandingan hal 12. Dalam diktat
sastra banding mazhab Eropa dan Amerika oleh Syukron Kamil. Fakultas Adab UIN
Jakarta.
Sutarno, Menulis
yang efektif, Jakarta: CV Sagung Seto, 2008.
Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan
Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.
[1] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press,
2009. Hal 5-6.
[2]
Fathurrahman Rauf, Fungsi sastra bagi kehidupan Manusia, al-Turas mimbar
sejarah, sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta.
Vol. 6 No.10, Juni 2000. Hal 1-7.
[3] Sutarno,
Menulis yang efektif, Jakarta: CV Sagung Seto, 2008. Hal 64.
[4] Siti
Anshoriyah, Abu Nuwas intelektual dan Humanitas Puisi, al-Turas mimbar sejarah,
sastra, budaya dan agama, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta, Vol. 10, no
3, September 2004, hal 203.
[5] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press,
2009. Hal 10-11.
[6] Nawawi
dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah.
Jakarta: Wardah Press, 2010, hal 18.
[7] Nawawi
dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah.
Jakarta: Wardah Press, 2010, hal 17.
[8] Nawawi
dan Yani’ah Wardhani, Ilmu Arudh teori dan Aplikasi; Balaghah Wadhihah.
Jakarta: Wardah Press, 2010, hal 21-26.
[9] فاعلن،
فعولن، مفاعيلن، مستفعلن، مفاعلتن، متفاعلن، مفعولات، فاع لاتن، مستفع لن، فاعلاتن
[10] Bahar
Thawil, Bahar Madid, Bahar Basith, Bahar Wafir, Bahar Kamil, Bahar Hajaz, Bahar
Rajaz, Bahar Ramal, Bahar Sari’, Bahar Munsarih, Bahar Khafif, Bahar Mudhari’,
Bahar Muqtadhab, Bahar Mujtats, Bahar Mutaqarib dan Bahar Mutadarik.
[11] Ali
al-jarim dan Musthafa Amin, terjemahan al-Balaaghatul Waadhihah. Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1994, hal 6.
[12] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press,
2009. Hal 140.
[13] Ibid,
hal 145.
[14] Ibid,
hal 165.
[15] Ibid,
hal 167.
[16] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press,
2009. Hal 168-171.
[17] Jan van
Luxemburgh, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT
Gramedia 1984, hal 36.
[18] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press,
2009. Hal 182-184.
[19] Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan
Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal 64.
[20] Jan van
Luxemburgh, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT
Gramedia 1984, hal 45.
[21] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press,
2009. Hal 206.
[22] Nyoman
Kutha Ratna, SU, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2004, hal 45.
[23] Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Hal 222.
[24] Ibid,
hal 235.
[25] Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan
Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal 128-129.
[26] Suripan
Sadi Utomo, Merambah Matahari sastra dalam bandingan hal 12. Dalam diktat
sastra banding mazhab Eropa dan Amerika oleh Syukron Kamil. Fakultas Adab UIN
Jakarta.
Wah nemu blognya kak tutur
BalasHapusWah nemu blognya kak tutur
BalasHapuslg sercing buat tugas uas nemu blognya antum
BalasHapus