Pendahuluan
Masuknya Islam ke Nusantara memang ada andil besar para pedagang
yang berasal dari Gujarat, Arab dan Cina yang melakukan interaksi sosial dengan
para penduduk Nusantara di sekitaran pantai, atau pelabuhan tempat kapal-kapal
mereka berlabuh. Apalagi jika melihat ke belakang betapa lamanya kerajaan Hindu
Budha berkuasa dan tentunya mempunyai pengaruh yang sangat luas dan melekat di
dalam Masyarakat. Ketika Islam sedikit demi sedikit masuk dan mulai menjalar
dari pinggir pantai ke daerah yang lebih jauh tentunya tidak mudah begitu saja,
melainkan semua usaha di lakukan oleh penyebar agama Islam saat itu.
Banyak dari ulama menyadur dan mengganti tradisi-tradisi Hindu
Budha ke dalam Tradisi Islam, di Jawa ada Wali Sanga yang melakukan ini, di
daerah lain sebut saja Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar raniri, abdur rauf Singkel
dan masih banyak lagi. Selain itu untuk mengimbangi epos-epos Hindu di
terjemahkan atau disadur epos-epos Islam ke dalam bahasa Melayu. Hubungan yang
erat antara Parsi dan India Mughal dengan Pasai mengakibatkan karya-karya dari
Bahasa Parsi dimelayukan. F.L.Brakel yang telah meneliti Hikayat Muhammad Hanafiah
berpendapat bahwa hikayat tersebut dimelayukan selambat-lambatnya pada abad
ke-14.[1]
A.
Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara
Nusantara
merupakan wilayah strategis dalam jalur transportasi antara barat dan timur,
sejak zaman prasejarah, penduduknya dikenal sebagai pelaut yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Wilayah nusantara menurut para ahli sejarah adalah
meliputi : pulau-pulau yang terletak di sebelah timur India hingga lautan Cina,
mencakup wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Patani (Thailand Selatan) dan
Filipina Selatan. Kalau sekarang Istilah Nusantara di kenal dengan
negara-negara yang terhimpun di dalam kategori Asia Tenggara. Para pedagang
dari Gujarat, Arab, Persia dan Cina mereka mempelajari dan menguasi daerah
pinggir Laut untuk menyebarkan Agama Islam. Sekitar Abad 7 M, sebenarnya para
pedagang yang singgah di Nusantara sudah mulai membuka jalan untuk tinggal dan
mendirikan masjid-masjid di pinggir pantai.[2] Di
akhir abad ke-12, di pantai timus Sumatra terdapat negara Islam bernama Perlak
yang didirikan oleh pedagang asing dari Maroko, persi dan Gujarat.[3]
Masuknya Islam
ke kepulauan Melayu Indonesia disebabkan oleh lima faktor, yaitu pertama,
perdagangan. Kedua, perkawinan antar orang Islam dan bukan Islam, mereka inilah
yang menyebarkan Islam di kalangan masyarakat. Ketiga, kemudahan dan
kepentingan politik untuk memudahkan masyarakat masuk agama Islam. Keempat,
penghargaan nilai ideologi Islam. Dan kelima, Faktor otoktoni suatu kebudayaan
yang sudah ada sejak dulu dan relevan dengan Ilmu tasawuf. Faktor kelima ini
menjadi alat yang mempermudah Islam masuk ke Nusantara. Bukti yang menunjukkan
ini bisa kita lihat dengan masuknya kasidah Burdah, Kasidah
Al-Barzanji dan kasidah Diba’y.[4] Adapun menurut Uka Tjandrasasmita proses
Islamisasi ada tujuh. Pertama, saluran perdagangan. Kedua,
saluran dakwah. Ketiga, saluran perkawinan. Keempat, saluran
Tasawuf. Kelima, saluran pendidikan. Dan keenam, saluran
kesenian. Dan terakhir ketujuh, saluran politik.[5]
Peran ulama
sangat besar dalam proses Islamisasi di Nusantara, kita akan banyak menemukan
ulama-ulama yang tersebar seantero Nusantara untuk misi penyebaran Agama Islam.
Unutk di daerah Jawa kita akan mengenal dengan istilah wali songo, seorang
utusan atau muballigh yang berjumlah sembilan orang. Mereka di posisikan
sebagai ulama kharismatik dan mendapat penghormatan tinggi di dalam masyarakat.
Usaha yang mereka lakukan di antaranya dengan mengenalkan genre sastra Islam
kepada Masyarakat. Beberapa wali menggunakan karya sastra untuk menarik minat
masyarakat terhadap Agama Islam. Adapun di Daerah Aceh dan sekitar Sumatera
kita akan bertemu dengan ulama handal seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar
Raniri, Syamsuddi As Sumatrani dan Abdur Rauf Singkel, mereka menciptakan
Karya-karya sastra yang bercorak Islami.
B.
Pengertian Sastra Islam
Yang dimaksud
dengan Sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan dan
ajaran Islam seperti persoalan kemanusiaan; memuji dan mengangkat tokoh-tokoh
Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; atau
sastra yang memiliki komitmen atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip islam.[6]
Menurut Gunawan
Muhammad sastra Islam adalah karya sastra yang menitik beratkan kehidupan
beragama sebagai pemecah masalah. Secara bahasa, sastra Islam bukanlah sastra
Arab saja, karena Islam melewati batas-batas kebahasaan. Sastra Islam juga
bukanlah lawan dari sastra Barat, karena dalam Sastra Barat juga terdapat
sastra Islam seperti dalam sebagian karya Gothe (lahir 1749) yang percaya pada
keesaan tuhan, keagungan al-Quran dan kenabian Muhammad.[7]
Franz Rosenthal
di dalam salah satu makalah tentang sastra yang dimuat di dalam the legacy
of Islam juga tidak membicarakan apa yang disebut dengan sastra Islam. Namun
dari uraiannya nyata sastra Islam ialah sastra orang Islam (Schact, 1974).
Adapun menurut R.O. Winstedt dalam bukunya yang terkenal itu juga tidak
ada memberi pengertian tentang sastra Islam, tetapi semua hasil karya yang
dibawa masuk oleh Islam dianggapnya sebagai sastra Islam (Muslim
legends)(Winsted, 1969: 89)[8] .
Pada 1963,
terdapat pertemuan seniman Muslim di Jakarta yang mengeluarkan deklarasi
Manifes Kebudayaan dan Kesenian. Dipimpin Djamaludin Malik, seluruh seniman
yang hadir sepakat kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan Islam ialah
manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia Muslim dalam mengabdi
kepada Allah untuk kehidupan umat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah
untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman Muslim bertolak dari
ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani. Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik memaknai sastra Islam secara sederhana, yakni sastra mengenai
Muslimin dan segala amal saleh. Ia mengutip pendapat Roolvinck yang membagi
sastra Islam menjadi lima jenis, yakni cerita Alquran, cerita Nabi Muhammad,
cerita sahabat Rasulullah, cerita pahlawan Muslim, dan sastra kitab.[9]
Dengan beberapa
definisi diatas dapat dikemukakan ruang lingkup Sastra Islam tidaklah sempit
seperti yang di bayangkan. Jadi Sastra Islam tidak dibatasi oleh pengulangan
kata yang indah atau terbatas pidato saja, melainkan meluas pada
masalah-masalah kemanusiaan dengan segala aspeknya. Memang fokus Sastra Islam
terletak pada penggunaan bahasa Arab yang Indah baik dalam pidato maupun Puisi.
Berdasarkan pemikiran diatas sastrawan dapat menciptakan karya sastra dengan
modal realitas alam semesta sebagai objeknya.[10]
C.
Proses masuknya Sastra Islam Nusantara
Sastra Islam di
Nusantara pada awalnya muncul dalam bahasa Melayu pada abad ke-14 – 15 M
bersamaan dengan semakin meluasnya penyebaran agama ini di kepulauan Melayu.
Awal kemunculannya dalam bahasa Melayu dimungkinkan karena bahasa inilah yang
pada awalnya digunakan sebagai media penyebaran Islam dan bahasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Derasnya proses Islamisasi di kepulauan
Nusantara pada abad ke-16 M membuat bahasa Melayu naik perannya menjadi bahasa
keilmuan dan keagamaan terpenting di kawasan ini, dan karena itu pula memiliki
kedudukan istimewa di tengah bahasa-bahasa etnik Nusantara yang lain. Begitu
pula kesusastraanya.[11]
Islamisasi
terhadap bahan-bahan cerita dari zaman Hindu jawa yang diolah dan dijadikan
media penyampaian pesan agama, bukan saja terjadi dalam khazanah sastra Jawa
tetapi juga Melayu Klasik, seperti Hikayat Syah Mardan. Awalnya roman ini
merupakan kisah cinta dan pengembaraan India, namun dalam sastra Melayu telah
dialihkan menjadi alegori-alegori Sufi.[12]
Ketika dalam dakwah para tokoh Sufi dan Wali di Nusantata sering kali
menggunakan Gubahan-gubahan Istilah dan cerita untuk membuat orang tertarik
masuk Islam. Selain menarik banyak orang hasil gubahan-gubahan tersebut di
sesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Seperti Sunan Bonang yang
mengenalkan Genre sastra Islami berupa tembang-tembang yang isinya mengajak
kepada amar ma’ruf Nahi munkar.
D.
Sastra Islam Masa Awal, Genre, Tokoh dan contohnya
Genre Sastra
Islam di Nusantar tampaknya dirintis dan dikembangkan oleh Sunan Bonang atau
syeikh Makhdum Ibrahim. Ia telah banyak menulis karya sastra dalam bentuk Suluk[13]
yang disajikan dalam bahasa jawa melalui bingkai tembang (nyanyian Jawa) yang
dibagi ke dalam pupuh-pupuh[14].
Dalam bahasa Jawa, sastra Suluk sering disebut serat macapat. Karyanya itu
antara lain Suluk Khafifah, Suluk Regol dan Suluk Wijil.[15]
Ciri umum
karyanya antara lain:
1.
Menerapkan
sistem Sastra dan wawasan berdasarkan metafisika sufi
2.
Mempertahankan
Unsur lokal dan mengintegraskannya dengan sistem Islam seperti penyebutan
dirinya dengan fakir (tak terpaut dunia) dan mahayogi (sebutan penyair
masa Hindu, karena pada masa itu seorang penyair menulis setelah melakukan
Yoga)
3.
Memakai
Istilah Arab, jika tidak menemukan padanannya dalam Bahasa Jawa
4.
Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Jawa Madya sebagai ciri Sastra zaman peralihan
Hindu ke Islam yang ditandai dengan merosotnya pamor bahasa jawa Kawi(Kuno).[16]
Diantara
tokoh Sastra Islam di masa Awal adalah sebagai Berikut,
1.
Sunan
Bonang lahir pada tahun 1449 atau sekitar Abad 15 dan wafat tahun 1530 M. Ia
seorang Ulama dari jajaran Walisongo, seorang sufi yang memiliki Jiwa Seni dan
terkenal pencipta Gending (lagu langgam Jawa) yang pertama di kalangan
Walisongo, yakni langgam Gending Durno, yang merupakan tembang cilik dalam
Sastra Jawa. Penulis Kitab Suluk Sunan Bonang, yang bertuliskan Arab
Pegon berbahasa Jawa Tengahan, berisi tentang ajaran Tasawuf dan Suluk Tarekat.
Sunan Bonang adalah penyokong dan penegak kelahiran Kerajaan Demak, ia juga
pencipta wayang versi Islam.[17]
2.
Contoh
Karya Sastranya dalam Bentuk Puisi:
“Jangan
terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan
berada di dalam diri
Jadikan dirimu
Cinta(isyq)
Maka kau akan
dapat memahami dunia”[18]
3.
Sunan
Kalijaga, sebagai pelopor genre sastra Islam dalam bentuk Islamisasi terhadap
bahan-bahan cerita dari zaman hindu Jawa yang diolah untuk kepentingan dakwah.
Sebagai seorang pujangga, seniman, sastrawan dan budayawan, sunan kalijaga
banyak menciptakan kreasi seni yang kemudian menjadi peninggalan umat
setelahnya. Ia adalah seorang pencipta karya yang produktif dan bertahan lama
hingga kini. Sunan Kalijogo terkenal sebagai kelompok Aliran Tuban yang lebih
luwes menyikapi adat istiadat, berhasil mengubah dan memodifikasi wayang sesuai
dengan Islam untuk kepentingan dakwah.[19]
Diantara hasil
gubahannya adalah kisah Mahabharata yang dipakai untuk cerita wayang, kisah
yang walnya menceritakan peperangan wangsha Bharata ini diubahnya menjadi
Brantayudha Jayabinangun (peperangan cinta demi Allah untuk membangun
kemenangan). Kehidupan pandawa yang terbuang sebagai lambang kehidupan Sufi,
yaitu menempuh jalan fakir dan kelimanya diartikan sebagai simbol rukun Islam.
Yudhistira yang awalnya memiliki senjata kali maha usada (pengobatan
Agung dari batara Kala) diubah menjadi Jimat kalimasada (kalimah
syahadat) yang berarti simbol syahadat. Bima sebagai simbol sholat,
Arjuna sebagai simbol Puasa (bertapa), Nakula dan Sadewa sebagai simbol zakat
dan haji.[20]
4.
Yasadipura
II adalah Sastrawan Surakarta Akhir abad ke-18. Ia menuturkan ajaran Tasawufnya
dalam kisah perjalanan Bima ke dasar lautan untuk mencari air hayat, dimana ia
bertemu guru spiritualnya, Dewa Ruci. Penyelaman ke dasar laut adalah hasil
tamsil bagi penyelaman ke dalam wujud semesta alam dan kemanusiaan.[21]
E.
Sastra Islam Masa Peralihan dan contohnya
Untuk menentukan karya mana yang
masuk kategori sastra zaman peralihan Hindu-Islam sukar sekali. Karena tidak
ada tarikh dan nama pengarangnya, sastra melayu lama tertulis dalam huruf Arab,
hasil sastra melayu yang dianggap tertua seperti Hikayat Sri Rama, semua
hasil sastra zaman peralihan berjudul hikayat. Sastra zaman Peralihan adalah
sastra yang lahir dari pertembungan sastra yang berunsur Hindu dengan pengaruh
Islam. Dengan kata lain, sastra yang khas Hindu, seperti Hikayat Sri Rama,
walaupun mengandung unsur-unsur Islam tidak dianggap sebagai sastra zaman
peralihan. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1.
Dewa
Mulia Raya atau Batara Kala yang dijunjung tinggi sebagai Tuhan yang dijunjung
tinggi diganti oleh Raja Syah Alam atau Allah Subhanau wa ta’ala.
2.
Plotnya
selalu menceritakan turunnya dewi atau bidadari untuk menjadi Raja atau anak
raja
3.
Sastra
zaman peralihan biasanya mempunyai dua judul, satu judul Hindu dan satu judul
Islam. Judul Islam biasanya lebih terkenal dari judul Hindu, seperti Hikayat si
Miskin adalah yang lebih dikenal daripada Hikayat Marakarma, Hikayat
Syah Mardan lebih dikenal daripada Hikayat Indra Jaya.[22]
Menurut Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik,
menyebutkan setidaknya ada empat belas Hikayat yang berasal dari zaman
peralihan Hindu-Islam:
a.
Hikayat Puspa Wiraja
b.
Hikayat Parang Punting
c.
Hikayat Langlang buana
d.
Hikayat Si Miskin
e.
Hikayat Berma Syahdan
f.
Hikayat Indra Putra
g.
Hikayat Syah Kobat
h.
Hikayat Koraisyi Mengindra
i.
Hikayat Indra Bangsawan
j.
Hikayat Jaya Langkara
k.
Hikayat Nahkoda Muda
l.
Hikayat Ahmad Muhammad
m.
Hikayat Syah Mardan
n.
Hikayat Isma Yatim
Disamping
risalah-risalah yang menerangkan tentang agama Islam, besar kemungkinan
cerita-cerita tentang Nabi Muhammad merupakan Hikayat-hikayat Indonesia yang
pertama yang dituliskan dalam kesusastraan Indonesia. Tulisan-tulisan mengenai
kisah Nabi Muhammad amat diperlukan untuk dibacakan pada perayaan-perayaan
Islam, khususnya upacara-upacara seperti sambutan Maulid. Tradisi ini
menggalakkan penulisan hikayat tentang Nabi Muhammad yang mungkin merupakan
hikayat di masa Indonesia lama.[23]
Dalam khazanah
sastra Melayu, genre sastra Islam dirintis dan dikembangkan oleh Hamzah
Fansuri, penyair Puncak pada masa peralihan dari abad 16 ke abad 17. Karena itu
Hamzah fansuri dan Sunan Bonang merupakan pelopor Sastra Islam Indonesia.
Adapun ciri-ciri penting dalam puisinya adalah:
a.
Semua
puisinya bersajak empat baris dengan skema akhir AAAA, suatu bentuk puisi yang
disebut Syair
b.
Merupakan
puisi Sufistik yang tema utamanya adalah fana (hancurnya kesadaran
terhadap adanya tubuh kasar), cinta ilahi dan kemabukan mistik
c.
Terdapat
banyak kata ambilan dari Bahasa Arab dan sejumlah kata Jawa, kutipan AlQuran
dan Hadis dan ucapan Syatiyat dari sayidina Ali, Abu Yazid dan al-Halaj
d.
Terdapat
sejumlah baris syair dan jumlah suku katanya (8-12) dalam setiap lariknya yang
memiliki kesamaan dengan baris-baris puisi penyair Sufi Persi
e.
Puisinya
banyak menggunakan simbol dan tiga simbol besar yang memenuhi puisinya adalah
lautan sebagai simbol wujud ketuhanan yang tak terhingga, anggur sebagai simbol
kemabukan mistik dan kekasih simbol antropomorfis yang melukiskan cinta
transendental.
Sebagai contoh,
“Hamzah fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bait Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya berjumpa di dalam rumah”
Contoh lainnya,
“Hapuskan akal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
Sana kau lihat permai rupamu”
Kesimpulan
Sastra Islam Nusantara Abad awal dan Peralihan tidak bisa lepas
dari Unsur-unsur Hindu Budha yang memang sebelumnya telah memerintah selama
ratusan Tahun di Nusantara. Sastra Islam Nusantara menjadi bagian penting dari
dakwah penyebaran Agama Islam sendiri, terbukti dengan ulama-ulama termasuk
Wali Sanga yang saat itu menggunakan tradisi-tradisi Hindu yang di balut dengan
Tradisi Islam melalui berbagai Karya Sastra. Sunan Bonang dengan
suluk-suluknya, Sunan Kalijaga dengan pengubahan tokoh-tokoh dalam Mahabharata
ke dalam tokoh Islam, Hamzah Fansuri dengan Puisi Sufistiknya dan munculnya
Hikayat-hikayat dari Hindu menjadi Hikayat Islam seperti Hikayat Puspa Wiradja.
Sastra Islam sendiri mempunyai ciri mempromosikan sistem
kepercayaan dan ajaran islam, memuji dan mengangkat tokoh Islam, mengkritik
realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sastra yang tidak
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Islam.
Daftar Pustaka
Fang, Liaw Yock. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik,
Jakarta: yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Hadi, Abdul WM. Sastra Islam Melayu-Nusantara/
sastra-muslim.blogspot.com
Hamid, Ismail. Kesusastraan Indonesia lama bercorak Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
Iskandar, Teuku. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad,
Jakarta: Penerbit Libra 1996.
Kamil, Syukron. Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia:
dari klasik hingga kontemporer, Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan
Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007.
Lubis
, Amany. dkk, Sejarah Peradaban Islam. Pusat Studi wanita UIN
Jakarta, 2005.
Manshur, Fadlil Munawar. Perkembangan Sastra Arab dan Teori
Sastra Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Muljana, Slamet. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2005.
Republika Online.com
Suprapto, Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat hidup,
Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar
Media Indonesia, 2010.
[1] Teuku Iskandar,
Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, Jakarta: Penerbit Libra
1996. Hal 124
[2] Amany Lubis,
dkk, Sejarah Peradaban Islam. Pusat Studi wanita UIN Jakarta, 2005. Hal
279-283
[3] Slamet
Muljana, Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di
Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2005. Hal 130
[4] Fadlil Munawar
Manshur, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001, hal 111
[5] Amany Lubis,
dkk, Sejarah Peradaban Islam. Pusat Studi wanita UIN Jakarta, 2005. Hal
286-289
[6] Syukron Kamil,
Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia: dari klasik hingga kontemporer,
Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
[7] ibid
[8] Liaw Yock
Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta: yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011. Hal 273
[9] Republika
Online.com
[10] Fadlil Munawar
Manshur, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011. Hal 157-158
[11] Abdul Hadi WM,
sastra Islam Melayu-Nusantara/ sastra-muslim.blogspot.com
[12] Syukron Kamil,
Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia: dari klasik hingga kontemporer,
Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
[13] Suluk adalah Sastra
Sufistik berisi perjalanan spiritual sufi menuju Tuhan.
[14] Pupuh adalah
tembang Jawa semacam ‘Arud (prosodi gaya lama Arab). Sebagian besarnya adalah
khazanah peradaban Jawa diciptakan oleh para wali songo....
[15] Syukron Kamil,
Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia: dari klasik hingga kontemporer,
Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
[16] Syukron Kamil,
Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia: dari klasik hingga kontemporer,
Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
[17] Bibit
Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat hidup, Karya dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010. Hal
740
[18] Syukron Kamil,
Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia: dari klasik hingga kontemporer,
Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
[19] Bibit Suprapto,
Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157
Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010. Hal 763
[20] Syukron Kamil,
Sastra Islam dalam sejarah Sastra Indonesia: dari klasik hingga kontemporer,
Sejarah Sasra Indonesia: Tematik dan Periodik, Diktat: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
[21] Ibid.
[22] Liaw Yock
Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta: yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011. Hal 179-180
[23] Ismail Hamid, Kesusastraan
Indonesia lama bercorak Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989. Hal 29
admin,maaf izin bertanya untuk pengambilan referensi yang dituliskan diatas itu di mana ya ? di jurnal/website apa ya ?soalnya kalo saya buka ,isinya gak full dan buat bingung
BalasHapusterimakasih