Senin, 13 April 2015

Tafsir surat Al-Baqarah 196-197 dan Ali Imran 96-97



BAB I
PENDAHULUAN

بني الإسلام على خمس شهادة أن لا اله الا الله و أن محمد رسول الله و إقام الصلاة و إيتاء الزكاة و الصوم الرمضان و حج البيت من استطاع إليه سبيلا.
Dari ungkapan diatas lima rukun wajib bagi umat muslim dimanapun berada, syahadat, sholat, zakat, puasa Ramadhan dan mengerjakan haji bilamana perlu, belum dikatakan seorang muslim yang kaffah apabila belum melaksanakan rukun Islam yang lima tersebut.
Rukun Islam yang kelima adalah ibadah haji, ibadah haji menjadi ibadah yang semua orang menginginkannya akan tetapi tidak semua orang juga mendapat kesempatan untuk melaksanakaannya. Bahkan rukun Islam kelima ini seakan-akan mempunyai magnet tersendiri bagi kaum muslim.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian haji dan umroh?
2.      Bagaimana tafsir dan aspek hukum yang terkandung dalam  surat Al-Baqarah ayat 196-197 dan surat Ali Imran ayat 96-97?
















BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian haji dan umroh
haji berasal dari kata Hajju artinya bersengaja mengerjakan dan mendatangi. Menurut Syara’ haji berarti sengaja berkunjung ke Baitullah al-Haram pada masa tertentu untuk mengerjakan amalan-amalan yang telah di tetapkan dalam al-Quran dan As-Sunnah. Menunaikan haji hukumnya adalah wajib bagi orang Islam yang mampu melaksanakannya. Hendaknya setiap muslim melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan melaksanakan setiap adab-adab ibadah haji dan hukum-hukumnya untuk mencapai yang mabrur.
Predikat haji yang mabrur dapat dilihat dari tanda-tanda diantaranya adalah perbahan akhlaq ketika kembali dari berhaji, yaitu meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat, yang selama ini dia lakukan sebelum berhaji dan menjadi manusia yang lebih baik. Dari Abu Hurairah ra berkata, telah ditanya oleh rasulullah. Seutama-utamanya amal, maka jawab Rasulullah, beriman kepada Allah, ditanya lagi kemudian apa? Jawab beliau berjihad di jalan Allah, ditanya lagi kemudian apa? Jawab beliau haji mabrur.[1]
Sedangakan Umrah adalah berkunjung ke baitullah atau ka’bah untuk melakukan amalan thawaf, sa’i dan bercukur demi mengharapkan ridha Allah SWT.[2] Keduanya merupakan sebuah ibadah yang muncul dari diri manusia untuk menghilangkan rasa-rasa kurang baik, sehingga manusia berusaha setelah melakukan ibdah itu akan bisa menjadi lebih baik lagi.[3]
2.      Tafsir surat al-baqarah dan aspek hukum ayat 196-197

Q.S. Al-Baqarah ayat 196-197:

وَاَتِمُّوا اْلحَجَّ وَاْلعُمْرَةَ لِلهِ فَإِن ْأُحْصِرْ تُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ اْلهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوْا رُؤُ سَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ اْلهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍأَوْ نُسُكٍ فَإِذَاأَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى اْلحَجِّ فَماَ اسْتَيْسَرَ مِنَ اْلهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي اْلحَجِّ وَ سَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ  تِلْكَ عَشَرَةٌ كَا مِلَةٌ ذَ لِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ وَاتَّقُوْ اللهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
Artinya:
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu,sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

Tafsir
Kata atimmu/sempurnakanlah oleh sementara ulama’ di pahami dalam arti,”laksanakanlah masing-masing dengan sempurna, sehingga tidak ada salah satu unsurnya pun yang tersisa.” Perintah ini dipahami oleh sementara ulama’ dalam arti perintah melaksanakan keduanya sebagaimana ditetapkan syari’at, dan dengan demikian hukum haji dan umrah adalah wajib. Ada juga yang memahami perintah penyempurnaan itu dalam arti,”sempurnakanlah keduanya sesuai dengan apa yang seharusnya dilaksanakan dalam kegiatan umrah dan haji.” Redaksi tersebut menurut pendapat ini tidak berbicara tentang hukum pelaksanaan haji dan umrah dari segi syari’at, apakah wajib atau sunnah, tetapi yang dituntut hanya kesempurnaan pelaksanaan keduanya sebaik mungkin. Betapapun perbedaan itu terjadi yang pasti ialah ibadah haji adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu sekali seumur hidup. Nabi Muhammad SAW pun hanya sekali berhaji, sedang ibadah umrah, hukumnya diperselisihkan ulama’, ada yang menilainya wajib dan ada juga yang berpendapat hukumnya hanya sunnah. Nabi SAW melaksanakan umrah sebanyak 4 kali.[4]
Haji dan umrah itu dituntut agar dilaksanakan karena Allah lillah, walaupun semua ibadah harus dilaksanakan karena Allah, namun ditemukan bahwa dari kelima rukun islam hanya haji yang digaris bawahi dengan kata lillah. Ini sebabnya karena pada masa jahiliyah kaum musyrikin melaksanakannya untuk aneka tujuan yang tidak sejalan dengan tuntutan Allah, mungkin saja dengan maksud berdagang semata-mata, atau sekedar berkumpul bersama. Hal ini masih dapat terjadi dikalangan sebagian jama’ah haji hingga kini. Oleh karena itu, pesan tersebut menjadi sangat penting dan amat berarti, apalagi telah menjadi kebiasaan umat islam untuk memberi gelar haji bagi yang telah melaksanakannya, berbeda dengan ibadah-ibadah wajib lainnya. Gelar yang disandang itu dapat menjadi salah satu faktor yang mengalihkan seseorang dari tujuan lillah itu. Walau pada saat yang sama harus di akui, bahwa gelar itu dapat juga menjadi perisai bagi penyandangnya terhadap aktivitas yang tidak sejalan dengan ajaran haji.
Ayat ini disepakati ulama’ turun pada tahun ke 6 hijrah sebelum stabilnya keadaan keamanan dimekkah dan sekitarnya. Sementara ulama’ berpendapat bahwa pelaksanaan haji baru dilaksanakan pada tahun ke 9 hijrah, padahal perintah melaksanakannya telah turun jauh sebelum itu. Karena itu wajar jika Allah memberi petunjuk bagaimana melaksanakannya dalam keadaan terhalang atau tidak stabil. Tuntutan yang dimaksud adalah, jika kamu terkepung, yakni terhalang semata-mata oleh musuh, bukan hal lain yang menghalangi. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, sedang menurut ulama’ lain, disamping terhalang oleh musuh juga karena dihalangi oleh hal-hal lain seperti sakit, atau kekurangan biaya, atau alasan apapun, setelah kamu telah berniat melaksanakannya. Maka untuk membatalkan niatmu dan memungkinkan kamu terbebaskan dari larangan-larangan ihram, maka sembelihlah seekor kurban yang mudah di dapat di tempat kamu terhalang baik unta, sapi, kambing, atau domba.[5]
Yang terakhir dilaksanakan atau tanda selesainya ibadah haji dan umrah adalah menggunting beberapa helai rambut bagi pria dan wanita, atau mencukur seluruh rambut kepala bagi pria. Yang terhalang melaksanakan ibadah haji atau umrah diperingatkan agar jangan kamu mencukur rambut kepalamu sedikit atau banyak sebelum kurban yang akan kamu sembelih sampai ditempat penyembelihannya, yakni ditempat kamu terhalangi, menurut mayoritas ulama’ atau disekitar masjid al-harom dengan mengirimnya kesana, menurut madzhab abu hanifah. Setelah itu barulah kamu diperkenankan bercukur, dan saat itu kamu terbebaskan dari larangan-larangan ihram sebelumnya.
Tetapi jika ada di antara kamu yang sakit, seperti luka atau ada gangguan dikepalanya akibat penyakit atau kutu dan semacamnya yang mengharuskan ia bercukur, lalu ia bercukur : maka wajiblah atasnya membayar fidiyah, yakni imbalan atas ditinggalkannya suatu aktivitas yang mulia, yaitu berpuasa 3 hari, atau bersedekah dengan memberi makan 6 orang miskin atau berkurban dengan menyembelih seekor kambing.
Setelah menjelaskan cara menyelesaikan atau memutus ibadah haji akibat keterhalangan, lanjutan ayat diatas menjelaskan cara menyelesaikan ibadah haji atau umrah dalam keadaan normal dan aman, yaitu dengan firmanNya : “apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa saja yang ingin mengerjakan haji tamattu’,” yakni mengerjakan umrah sebelum haji didalam satu bulan haji sehingga memungkinkan ia bertahalul/melepaskan pakaian ihram dan terbebaskan dari larangan-larangannya, maka wajiblah ia menyembelih satu kurban yang mudah didapat, yakni kambing. Tetapi jika ia tidak menemukkan binatang kurban atau tidak mampu membelinya maka ia wajib puasa 3 hari dalam masa haji, sebaiknya tanggal 6, 7, dan 8 dzulhijjah, dan boleh juga setelah selesai semua amalan haji dan sebelum kembali kekampung halaman, dan ditambah lagi dengan 7 hari apabila kamu telah pulang kembali ke kampung halamanmu.[6]
Kata tujuh, digunakan juga oleh bahasa Al-qur’an dalam arti banyak, bukan sekedar dalam arti angka yang diatas enam dan dibawah delapan. Agar kata tujuh tidak dipahami dalam arti banyak, dan agar yang berpuasa tidak merasa hajinya berkurang karena tidak membayar fidyah tapi berpuasa, maka kemungkinan kesalahpahaman itu di hindari dengan menegaskan bahwa itulah, yakni 3 hari selama di mekkah di tambah 7 setelah kembali ketempat kediaman, berjumlah sepuluh yang sempurna, tidak kurang nilainya dari fidyah yang lain, serta tidak kurang pula dari pengamalan cara berhaji yang lain yang diizinkan Allah, yakni Ifrad dan Qiran. Demikian itulah kewajiban membayar fidyah akibat melaksanakan haji tamattu’ bagi orang-orang yang keluarganya tidak bertempat tinggal disekitar masjid al-Harom, yakni orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah.
Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaannNya. Perintah bertakwa yang di susul dengan perintah untuk mengetahui, mengisyaratkan bahwa takwa dapat diperoleh melalui pengetahuan, dan ini pada gilirannya menuntut para calon-calon jama’ah haji agar berbekal pengetahuan, karena tujuan akhir dari pelaksanaan ibadah haji adalah memantapkan takwa, bukan praktek lahiriah ibadahnya. Praktek-praktek lahiriah itu pada hakikatnya merupakan lambang-lambang yang mengandung makna-makna ketakwaan yang sangat dalam.
Perintah bertakwa yang merupakan upaya bersungguh-sungguh menghindari siksa dan sanksi Allah juga menjadi perlu, karena beraneka ragamnya perintah dan larangan dalam pelaksanaan ibadah haji. Sebagian dapat terjangkau maknanya oleh nalar orang kebanyakan dan sebagian lainnya tidak demikian. Di sisi lain waktunya yang berkepanjangan memberi peluang lahirnya godaan-godaan nafsu dan setan, apalagi ibadah tersebut dilaksanakan di daerah yang terbatas wilayahnya dan dalam iklim yang seringkali tidak bersahabat. Di tambah lagi dengan keterlibatan sekian banyak manusia yang sangat beragam jenis, warna kulit, tingkat pengetahuan, kemampuan dan status sosialnya.
Setelah menjelaskan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan haji, ayat-ayat berikut menjelaskan tentang waktu pelaksanaannya.[7]
Al-Baqarah ayat 197:
.اْلحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْ مَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ اْلحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَا لَ فِي اْلحَجِّ  وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَالزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ
Artinya:
(197.) (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Tafsir
Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang di maklumi, yaitu bulan-bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam kesepuluh, yakni malam hari lebaran idul adha. Ayat ini tidak menyebut kata”musim” atau “waktu” dalam redaksi diatas. Itu untuk memberi kesan bahwa bulan-bulan itu sendiri memiliki kesucian pada dirinya dan akibat terlaksananya ibadah haji waktu itu. Kesan ini pada gilirannya mengharuskan setiap orang baik yang melaksanakan haji maupun yang tidak, untuk menghormatinya dan memelihara kesuciannya dengan menghindari bukan hanya peperangan tetapi juga segala macam dosa.
Bulan-bulan ini dimaklumi yakni diketahui oleh masyarakat arab sejak sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW. Maka barang siapa yang mewajibkan atas dirinya dengan menetapkan niat untuk berhaji dalam bulan-bulan itu, maka hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada rafats, tidak ada kefasikan dan tidak ada juga berbantah-bantahan, yakni pertengkaran di dalam masa mengerjakan haji.
 Anak kalimat dalam bulan-bulan itu mengisyaratkan, bahwa ibadah haji dapat terlaksana walaupun tidak dilaksanakan sepanjang bulan-bulan tersebut. Dengan demikian, waktu haji bukan seperti waktu puasa ramadhan yang harus di laksanakan sejak awal ramadhan hingga akhirnya, kecuali yang memiliki udzur yang dapat di benarkan mengganti puasanya di hari lain.[8]
Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau diketahui itu , antara lain merupakan waktu permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat berhaji sebelum bulan-bulan yang disebut di atas tidak sah menurut banyak ulama. Disisi lain, walau waktunya demikian  panjang, yakni dua bulan sepuluh hari, namun ada amalan-amalan haji yang tidak sah dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu, seperti wukuf di Arafah yang tidak boleh sebelum tanggal 9 dzulhijjah, tidak juga setelah terbitnya fajar 10 dzulhijjah.
Waktu yang berkepanjangan itu antara lain dimaksudkan untuk memantapkan niat, melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani serta melakukan perjalanan yang hingga kini lebih-lebih dimasa lalu membutuhkan waktu yang cukup lama.
Selain itu, kegunaan dari penentuan waktu haji pada bulan-bulan tersebut, mengindikasikan bahwa pelaksanaan rangkaian ibadah haji yang dilakukan diluar bulan-bulan tersebut tidaklah sah, misalnya mengerjakan ibadah haji di bulan Rajab, atau Sya’ban dan lain-lain. Penentuan waktu ibadah semacam ini sesungguhnya tidak hanya terdapat pada pelaksanaan ibadah haji, melainkan juga ibadah-ibadah lain seperti puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain khususnya shalat, sebagai terdapat pada firman Allah :
اِنَّ الصَّلوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْ قُوْ تًا

Artinya: ... sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang telah ditentukan waktunya (al-Nisa’(4):103).[9]
Bagi yang telah memantapkan niat untuk melaksanakan ibadah haji, yang ditandai dengan memakai pakaian ihram, maka ia sangat terlarang untuk melaksanakan rafats, yakni bersetubuh atau bercumbu, tidak juga berbuat fusuq / kefasikan, yakni ucapan dan perbuatan yang melanggar norma-norma susila dan atau agama. Tidak juga jidal, yakni pembantahan yang mengakibatkan permusuhan, perselisihan, dan perpecahan. Manusia-manusia suci bak baru lahir dari ibunya. Rasul saw bersabda:
فَمَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْ فُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ فَرَجَعَ كَيَوْمٍ وَ لَدَتْهُ اُمُّهُ
Siapa yang berhaji, kemudian dia tidak berbuat rafats, dan tidak fusuk, maka dia akan kembali (suci ) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Muslim dan lain-lain)[10]

Jika semua larangan di atas dapat dipatuhi oleh orang yang melakukan haji, maka haji yang seperti itulah yang digambarkan Rasul yang melahirkan
Demikian dapat terlihat,bahwa dalam ibadah haji calon jemaah dituntun bahkan dituntut untuk menghindari interaksi yang dapat, menimbulkan disharmoni, kesalahpahaman, dan keretakan hubungan, sebagaimana mereka dituntut juga untuk menghindari kata-kata cabul dan pemuasan nafsu seksual. Ketiga hal yang dilarang di atas dikemukakan bukan dalam redaksi larangan, yakni ayat itu tidak berkata: jangan melakukan rafats, fusuk dan jidal, tetapi berkata : tidak ada rafats, dan tidak ada fusuq dan tidak ada juga jidal di dalam masa mengerjakan haji.
Redaksi demikian mengisyaratkan, bahwa substansi ibadah haji bertentangan dengan ketiga hal yang dilarang itu. Ini berdasar rumus yang menyatakan bahwa: Segala  yang melanggar, dilarang; dan segala yang bertentangan, dinafikan, yakni dinyatakan tiada. Disisi lain, redaksi tersebut juga mengisyaratkan bahwa bukan saja dilarang bila ketiganya berkumpul bersama, tetapi ia dilarang walau hanya berdiri sendiri. Ini dipahami dari pengulangan kata tidak  pada masing-masing keburukan itu. [11]
Kalau di atas ada tuntunan dan tuntutan menghindari interaksi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, maka penggalan berikut ini ayat ini yakni: Dan apapun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya, mengandung tuntutan dan tuntunan agar para jemaah haji menjalin hubungan  harmonis serta mengucapakan kalimat-kalimat sopan dan baik agar jiwa mereka dapat lebih terarah kepada ketinggia rohani, saling bantu-membantu dan nasihat-menasihati, khususnya dengan jemaah haji lain, baik dalam bidang material maupun spiritual. Dari sini lahir pesan berikutnya: Berbekallah!
Bekal dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing calon tidak terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang air mukanya dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jemaah haji dituntut agar dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah dalam bidang rohani.
Bekal jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya menyangkut ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan pada gerakan fisik, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.
Salah satu yang amat penting diketahui, ditegaskan oleh ayat ini, yaitu Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Takwa, yakni upaya menghindari siksa dan sanksi Tuhan, baik duniawi akibat pelanggaran terhadapa hukum-hukum Allah  yang berlaku pada alam maupun ukhrawi akibat pelanggaran hukum-hukum Allah yang ditetapkanNya dalam syari’at.
Pesan berbekallah maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dapat juga dipahami dalam arti berbekallah dan bertakwalah kepada Allah dalam menyiapkan dan membawa bekal itu. Jangan jadikan bekal yang engkau persiapkan atau bahwa merupakan hasil dari pelanggaran atau harta yang haram. Jangan juga membawa bekal yang tidak dibenarkan Allah atau peraturan yang ditetapkan pemerintah yang berwenang mengatur urusan masyarakat, baik di tempat kamu maupun di tempat yang kamu tuju. Jangan juga membawa bekal yang berlebihan sehingga mubazzir, atau mengakibatkan pemborosan. Itu agaknya yang menjadi sebab sehingga pesan ini diakhiri dengan perintah bertakwa sekali lagi, yaitu firmanNya, dan bertakwalah kepada-Ku, wahai Ulu al-Albab.[12]
 Perintah kali ini ditujukan kepada Ulu al-Albab, yakni mereka yang memiliki akal yang murni, yng tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni ide yang dapat melahirkan kerancuan,dalam berpikir. Ulu al-Albab adalah mereka yang tidak lagi terbelenggu oleh nafsu kebinatangan atau dikuasai oleh ajakan unsur debu tanahnya. Agaknya, penutup ayat ini ditujukan kepada mereka untuk mengisyaratkan bahwa para jemaah haji yang melaksanakan tuntutan dan tuntunan di atas wajar untuk menyandang sifat tersebut.
Larangan melakukan jidal, yakni pembantahan yang dikemukakan pada ayat yang lalu menimbulkan kesan, bahwa jual beli atau berupaya mencari rezeki tidak dibenarkan dalam musim haji, karena jual beli seringkali disertai dengan jidal atau tarik-menarik kemaslahatan. Disisi lain, anjuran berbekal dalam bidang material dan saling membantu mengundang pertanyaan tentang jual beli karena aktivitas ini dapat menghasilkan keuntungan dan menambah bekal.[13]

3.      Q.S Ali Imran ayat 96-97

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ. فِيْهِ اٰيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَا مُ إِبْرَاهِيْمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ اٰمِنًا وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبيْلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌ عَنِ الْعَالَمِيْنَ.

Artinya :
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (makkah) yang di berkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia, padanya terdapat tanda-tanda yang nyata ( diantaranya) maqom Ibrahim. Barang siapa memasukinya(Baitullah itu) menjadi amalanlah dia ; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari ( kewajiban ) haji, maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Tafsir
Bait adalah rumah. Yang dimaksud disini adalah rumah tempat dan sarana beribadah, bukan dalam arti bangunan tempat tinggal pertama.
Kata بَكَّةَ Bakkah ada yang memahaminya sebagai tempat melaksanakan thawaf dimana terdapat Ka’bah. Kata ini terambil dari akar kata bahasa Arab yang berarti ramai dan berkerumun. Makna ini sangat sesuai dengan keadaan kota Mekah, khususnya Ka’bah, apalagi pada musim haji, bahkan kini diluar musim tersebut.
Kalau dalam penafsiran di atas, kata (لِلنَّاسِ) an-nas dalam ayat ini dipahami dalam arti manusia secara keseluruhan, maka ada juga sementara penafsir yang memahaminya dalam arti manusia tertentu, yakni masyarakat kota madinah dan sekitarnya, baik kaum muslim, nasrani atau yahudi. Semua mereka mengakui nabi Ibrahim AS. Semua mengakui bahwa beliau membangun/meninggikan pondasi ka’bah. Jika demikian sangat wajar yang dinamai rumah peribadatan pertama yang dibangun untuk manusia yakni untuk ketiga penganut agama tersebut adalah yang di Bakkah yakni di kota itu, atau di Makkah al mukarromah.
       Disamping Bakkah merupakan rumah peribadatan pertama, ia juga (مُبَارَكًا) mubarrokan. Kata ini terambil dari kata yang bermakna mantab, bersinambung dan tidak bergerak. Dari akar kata yang sama lahir kata berkat yang bermakna kebajikan yang banyak. Atas dasar ini jika anda berkata bahwa sesuatu ada berkatnya, maka itu berarti bahwa dia mengandung kebajikan yang mantab dan bersinambung, dan tidak ada habisnya. [14]
Makkah dan Bakkah terus menerus menghasilkan kebajikan. Kata ini dapat mencakup kebajikan duniawi dan ukhrowi, tetapi sementara ulama membatasinya pada yang duniawi atau material, dan memahaiminya hudan lil ‘alamin dalam arti kebajikan ukhrowi dan yang bersifat immatrial.
Bentuk jama’ pada kata (عَالَمِيْنَ) ‘alamin menunjukkan bahwa ia menjadi, bukan buat satu alam tertentu, atau kelompok dan generasi tertentu saja tetapi banyak dan beragam. Kalaulah kita mulai dari masa dikumandangkannya ibadah haji oleh Ibrahim AS maka sesungguhnya manusia telah berkunjung kesana sejak waktu itu dan menjadikanya sebagi sarana dan tempat melaksanakan serta memperoleh petunjuk illahi.
Ketika menjelaskan makna maqam Ibrahim penulis mengemukakan bahwa : maqam adalah tempat berdiri. Maqam ibrahim adalah tempat beliau berdiri membangu ka’bah, maqam Ibrahim yang di maksud adalah seluruh arah dimana ka’bah itu mengarah karena itu ada yang memahami maqam ibrahim adalah seluruh masjid Al-haram. Ada juga yang memahami istilah itu sebagai satu tempat yang ditandai dengan sebuah batu bekas telapak kedua kaki Ibrahim AS. Dimana beliau pernah sholat. Batu tersebut kini di letakkan didalam sebuah bejana kaca.
Selanjutnya, dilukiskan ketenangan dan rasa aman yang diraih oleh mereka yang berkunjung kesana dengan firman-NYA; barang siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah ia, yakni siapapun yang berkunjung dan masuk ke Ka’bah, atau masuk ke masjid dimana Ka’bah itu berada. Ia tidak boleh di ganggu, karena Allah menghendaki agar siapapun yang mengunjunginya dengan tulus, merasa tenang dan tentram, terhindar dari rasa takut terhadap segala macam gangguan lahir dan batin.
(وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ) walillahi ‘alannas.sungguh teliti redaksi ayat ini. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia. demikian semua manusia dipanggil kesana, tetapi Allah maha bijaksana. Segera setelah menjelaskan kewajiban itu atas semua manusia, Yang Maha Bijaksana itu mengecualikan sebagian mereka dengan firmannya : bagi yang sanggup mengadakan perjalanan kesana. Ini berarti yang tidak sanggup, maka Allah memaafkan mereka.[15]
       Perlu dicatat menyangkut firman-NYA; siapa yang kafir, bahwa kufur dalam penggunaan al-Qur’an mempunyai aneka makna, antar lain dalam arti durhaka, kikir, tidak mensyukuri nikmat dan tidak percaya pada ajaran islam, ketiga makna ini dapat di cakup oleh kata kufur pada ayat di atas, tinggal melihat sikap dan perilaku yang enggan memnuhi kewajiban ini. Apabila ia tidak mengakui kewajiban tersebut maka ia kafir dalam arti tidak percaya pada ajaran islam, tetapi bila dia mengakui kewajiban itu namun enggan melaksanakannya maka ia durhaka, dan bila ia mencari dalih untuk menunda-nundanya maka ia adalah seorang yang tidak mensyukuri nikmat Allah dalam arti mengkufuri-Nya[16]

BAB III
KESIMPULAN

Haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan amalan wukuf, thawaf, sa’i, dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan Allah SWT serta mengharapkan ridhaNya. Umrah adalah berkunjung ke baitullah atau ka’bah untuk melakukan amalan thawaf, sa’i dan bercukur demi mengharapkan ridha Allah SWT
Dalam ayat 196-197, Allah menerangkan perkara hukum haji, dan waktu-waktu pelaksanaan serta sejumlah perbuatan yang dilarang dilakukan jamaah haji. Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang di maklumi, yaitu bulan-bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam kesepuluh, yakni malam hari lebaran idul adha.
Dalam Q.S. Ali Imran kemantapan tauhid dan pembantahan terhadap argumentasi-argumentasi yang di ajukan Ahli Kitab seputar pendapat mereka tentang agamanya. Ayat 97 surat ali imran/3 yang pada intinya menyatakan kewajiban haji bagi orang islam yang mampu dan siapa yang mengingkari kewajiban haji di pandang kafir.
Maka kita semua sebagai muslim harus benar-benar berusaha untuk menjadi muslim yang seutuhnya dengan berupaya melaksanakan ibadah haji.

















DAFTAR PUSTAKA


Abdul Baqi, Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li alfaadzil quran, Qohirah: Darul Hadis. 1996.
Bayrak, Tosun dan Muthahhari Murtadha, Energi Ibadah: selami makna, raih kemenangan. Jakarta: Serambi Ilmu sejahtera, 2007.
Buku Ajar Praktikum Ibadah. Kudus:STAIN Kudus 2013.
Hamdani ,Ahmad. Tafsir Ahkam 1. Kudus:Nora Media Enterprise 2010.
Khalis Mustashim, Muhammad. Laa Tansa ya Muslimin, Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati 2006.
Suma, Muhammad Amin. Tafsir Ahkam 1.Jakarta:Logos Wacana Ilmu 1997.
www. Akanyaulya, haji dan umrah. com




[1] Muhammad Khalis Mustashim, Laa Tansa ya Mulimin, Jakarta: PT Niaga Swadaya, hal. 115.
[2] Buku Ajar Praktikum Ibadah,2013,Kudus:STAIN Kudus.hal 121
[3] Syeikh Tosun Bairak dan Murtadho Muthohari, energi ibadah: selami makna, raih kematangan batin. Jakarta: PT serambi Ilmu sejahtera, hal 13.
[4] M. Quraish Shihab,2006, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,volume 1, hal.427-429
[5] Ibid, hal.429-430
[6] Ibid, hal 430-431
[7] Ibid, hal 431-432
 [8] Ibid, hal 432-433
[9] Muhammad Amin Suma,1997, Tafsir Ahkam 1,Jakarta:Logos Wacana Ilmu,hal.117
[10] Ibid, hal 118
[11] Ibid, hal 433-434
[12] Ibid,hal 434-435
[13] Ibid hal 435
[14] M. Quraish Shihab,2000, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,volume 2,hal147-149
[15] Ibid,hal.149-152
[16] Ibid,hal152-151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar