BAB I
PENDAHULUAN
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا اله
الا الله و أن محمد رسول الله و إقام الصلاة و إيتاء الزكاة و الصوم الرمضان و حج
البيت من استطاع إليه سبيلا.
Dari ungkapan diatas lima rukun wajib bagi umat muslim dimanapun berada,
syahadat, sholat, zakat, puasa Ramadhan dan mengerjakan haji bilamana perlu,
belum dikatakan seorang muslim yang kaffah apabila belum melaksanakan rukun
Islam yang lima tersebut.
Rukun Islam yang kelima adalah ibadah haji, ibadah haji menjadi ibadah yang
semua orang menginginkannya akan tetapi tidak semua orang juga mendapat
kesempatan untuk melaksanakaannya. Bahkan rukun Islam kelima ini seakan-akan
mempunyai magnet tersendiri bagi kaum muslim.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian haji dan umroh?
2. Bagaimana tafsir dan aspek hukum yang terkandung dalam
surat Al-Baqarah ayat 196-197 dan surat Ali Imran ayat 96-97?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian haji dan umroh
haji berasal dari kata Hajju artinya bersengaja mengerjakan dan mendatangi.
Menurut Syara’ haji berarti sengaja berkunjung ke Baitullah al-Haram pada masa
tertentu untuk mengerjakan amalan-amalan yang telah di tetapkan dalam al-Quran
dan As-Sunnah. Menunaikan haji hukumnya adalah wajib bagi orang Islam yang
mampu melaksanakannya. Hendaknya setiap muslim melaksanakan apa yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan melaksanakan setiap adab-adab ibadah
haji dan hukum-hukumnya untuk mencapai yang mabrur.
Predikat haji yang mabrur dapat dilihat dari tanda-tanda diantaranya adalah
perbahan akhlaq ketika kembali dari berhaji, yaitu meninggalkan segala
perbuatan dosa dan maksiat, yang selama ini dia lakukan sebelum berhaji dan
menjadi manusia yang lebih baik. Dari Abu Hurairah ra berkata, telah ditanya
oleh rasulullah. Seutama-utamanya amal, maka jawab Rasulullah, beriman kepada
Allah, ditanya lagi kemudian apa? Jawab beliau berjihad di jalan Allah, ditanya
lagi kemudian apa? Jawab beliau haji mabrur.[1]
Sedangakan Umrah adalah berkunjung ke baitullah atau ka’bah untuk
melakukan amalan thawaf, sa’i dan bercukur demi mengharapkan ridha Allah SWT.[2]
Keduanya merupakan sebuah ibadah yang muncul dari diri manusia untuk
menghilangkan rasa-rasa kurang baik, sehingga manusia berusaha setelah
melakukan ibdah itu akan bisa menjadi lebih baik lagi.[3]
2. Tafsir surat al-baqarah dan aspek hukum ayat 196-197
وَاَتِمُّوا اْلحَجَّ وَاْلعُمْرَةَ لِلهِ فَإِن ْأُحْصِرْ تُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ اْلهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوْا رُؤُ سَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ اْلهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍأَوْ نُسُكٍ فَإِذَاأَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى اْلحَجِّ فَماَ اسْتَيْسَرَ مِنَ اْلهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي اْلحَجِّ وَ سَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَا مِلَةٌ ذَ لِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ وَاتَّقُوْ اللهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
Artinya:
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu,sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa
atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),
(wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Tafsir
Kata atimmu/sempurnakanlah oleh sementara ulama’ di pahami dalam arti,”laksanakanlah masing-masing dengan sempurna, sehingga tidak ada salah
satu unsurnya pun yang tersisa.” Perintah ini dipahami oleh
sementara ulama’ dalam arti perintah melaksanakan keduanya sebagaimana
ditetapkan syari’at, dan dengan demikian hukum haji dan umrah adalah wajib. Ada
juga yang memahami perintah penyempurnaan itu dalam arti,”sempurnakanlah
keduanya sesuai dengan apa yang seharusnya dilaksanakan dalam kegiatan umrah
dan haji.” Redaksi tersebut menurut pendapat ini tidak berbicara tentang hukum
pelaksanaan haji dan umrah dari segi syari’at, apakah wajib atau sunnah, tetapi
yang dituntut hanya kesempurnaan pelaksanaan keduanya sebaik mungkin. Betapapun
perbedaan itu terjadi yang pasti ialah ibadah haji adalah wajib bagi setiap muslim
yang mampu sekali seumur hidup. Nabi Muhammad SAW pun hanya sekali berhaji,
sedang ibadah umrah, hukumnya diperselisihkan ulama’, ada yang menilainya wajib
dan ada juga yang berpendapat hukumnya hanya sunnah. Nabi SAW melaksanakan
umrah sebanyak 4 kali.[4]
Haji dan umrah itu dituntut agar dilaksanakan karena Allah lillah,
walaupun semua ibadah harus dilaksanakan karena Allah, namun ditemukan bahwa
dari kelima rukun islam hanya haji yang digaris bawahi dengan kata lillah.
Ini sebabnya karena pada masa jahiliyah kaum musyrikin melaksanakannya untuk
aneka tujuan yang tidak sejalan dengan tuntutan Allah, mungkin saja dengan
maksud berdagang semata-mata, atau sekedar berkumpul bersama. Hal ini masih
dapat terjadi dikalangan sebagian jama’ah haji hingga kini. Oleh karena itu,
pesan tersebut menjadi sangat penting dan amat berarti, apalagi telah menjadi
kebiasaan umat islam untuk memberi gelar haji bagi yang telah melaksanakannya,
berbeda dengan ibadah-ibadah wajib lainnya. Gelar yang disandang itu dapat
menjadi salah satu faktor yang mengalihkan seseorang dari tujuan lillah
itu. Walau pada saat yang sama harus di akui, bahwa gelar itu dapat juga
menjadi perisai bagi penyandangnya terhadap aktivitas yang tidak sejalan dengan
ajaran haji.
Ayat ini disepakati ulama’ turun pada tahun ke 6 hijrah sebelum stabilnya
keadaan keamanan dimekkah dan sekitarnya. Sementara ulama’ berpendapat bahwa
pelaksanaan haji baru dilaksanakan pada tahun ke 9 hijrah, padahal perintah
melaksanakannya telah turun jauh sebelum itu. Karena itu wajar jika Allah
memberi petunjuk bagaimana melaksanakannya dalam keadaan terhalang atau tidak
stabil. Tuntutan yang dimaksud adalah, jika kamu terkepung, yakni
terhalang semata-mata oleh musuh, bukan hal lain yang menghalangi. Ini adalah pendapat
Imam Syafi’i, sedang menurut ulama’ lain, disamping terhalang oleh musuh juga
karena dihalangi oleh hal-hal lain seperti sakit, atau kekurangan biaya, atau
alasan apapun, setelah kamu telah berniat melaksanakannya. Maka untuk
membatalkan niatmu dan memungkinkan kamu terbebaskan dari larangan-larangan
ihram, maka sembelihlah seekor kurban yang mudah di dapat di tempat kamu
terhalang baik unta, sapi, kambing, atau domba.[5]
Yang terakhir dilaksanakan atau tanda selesainya ibadah haji dan umrah
adalah menggunting beberapa helai rambut bagi pria dan wanita, atau mencukur
seluruh rambut kepala bagi pria. Yang terhalang melaksanakan ibadah haji atau
umrah diperingatkan agar jangan kamu mencukur rambut kepalamu sedikit
atau banyak sebelum kurban yang akan kamu sembelih sampai ditempat
penyembelihannya, yakni ditempat kamu terhalangi, menurut mayoritas
ulama’ atau disekitar masjid al-harom dengan mengirimnya kesana, menurut
madzhab abu hanifah. Setelah itu barulah kamu diperkenankan bercukur, dan saat
itu kamu terbebaskan dari larangan-larangan ihram sebelumnya.
Tetapi jika ada di antara kamu yang sakit, seperti luka atau ada
gangguan dikepalanya akibat penyakit atau kutu dan semacamnya yang
mengharuskan ia bercukur, lalu ia bercukur : maka wajiblah atasnya membayar
fidiyah, yakni imbalan atas ditinggalkannya suatu aktivitas yang mulia, yaitu
berpuasa 3 hari, atau bersedekah dengan memberi makan 6 orang miskin
atau berkurban dengan menyembelih seekor kambing.
Setelah menjelaskan cara menyelesaikan atau memutus ibadah haji akibat
keterhalangan, lanjutan ayat diatas menjelaskan cara menyelesaikan ibadah haji
atau umrah dalam keadaan normal dan aman, yaitu dengan firmanNya : “apabila
kamu telah merasa aman, maka bagi siapa saja yang ingin mengerjakan haji
tamattu’,” yakni mengerjakan umrah sebelum haji didalam satu bulan haji
sehingga memungkinkan ia bertahalul/melepaskan pakaian ihram dan terbebaskan
dari larangan-larangannya, maka wajiblah ia menyembelih satu kurban
yang mudah didapat, yakni kambing. Tetapi jika ia tidak menemukkan
binatang kurban atau tidak mampu membelinya maka ia wajib puasa 3
hari dalam masa haji, sebaiknya tanggal 6, 7, dan 8 dzulhijjah, dan boleh
juga setelah selesai semua amalan haji dan sebelum kembali kekampung halaman, dan
ditambah lagi dengan 7 hari apabila kamu telah pulang kembali ke kampung
halamanmu.[6]
Kata tujuh, digunakan juga oleh bahasa Al-qur’an dalam arti banyak,
bukan sekedar dalam arti angka yang diatas enam dan dibawah delapan. Agar kata
tujuh tidak dipahami dalam arti banyak, dan agar yang berpuasa tidak merasa
hajinya berkurang karena tidak membayar fidyah tapi berpuasa, maka kemungkinan
kesalahpahaman itu di hindari dengan menegaskan bahwa itulah, yakni 3
hari selama di mekkah di tambah 7 setelah kembali ketempat kediaman, berjumlah sepuluh
yang sempurna, tidak kurang nilainya dari fidyah yang lain, serta tidak
kurang pula dari pengamalan cara berhaji yang lain yang diizinkan Allah, yakni
Ifrad dan Qiran. Demikian itulah kewajiban membayar fidyah akibat
melaksanakan haji tamattu’ bagi orang-orang yang keluarganya tidak bertempat
tinggal disekitar masjid al-Harom, yakni orang-orang yang bukan penduduk
kota Makkah.
Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras
siksaannNya. Perintah bertakwa yang
di susul dengan perintah untuk mengetahui, mengisyaratkan bahwa takwa dapat
diperoleh melalui pengetahuan, dan ini pada gilirannya menuntut para
calon-calon jama’ah haji agar berbekal pengetahuan, karena tujuan akhir dari
pelaksanaan ibadah haji adalah memantapkan takwa, bukan praktek lahiriah
ibadahnya. Praktek-praktek lahiriah itu pada hakikatnya merupakan
lambang-lambang yang mengandung makna-makna ketakwaan yang sangat dalam.
Perintah bertakwa yang merupakan upaya bersungguh-sungguh menghindari siksa
dan sanksi Allah juga menjadi perlu, karena beraneka ragamnya perintah dan
larangan dalam pelaksanaan ibadah haji. Sebagian dapat terjangkau maknanya oleh
nalar orang kebanyakan dan sebagian lainnya tidak demikian. Di sisi lain
waktunya yang berkepanjangan memberi peluang lahirnya godaan-godaan nafsu dan
setan, apalagi ibadah tersebut dilaksanakan di daerah yang terbatas wilayahnya
dan dalam iklim yang seringkali tidak bersahabat. Di tambah lagi dengan
keterlibatan sekian banyak manusia yang sangat beragam jenis, warna kulit, tingkat
pengetahuan, kemampuan dan status sosialnya.
Setelah menjelaskan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan haji,
ayat-ayat berikut menjelaskan tentang waktu pelaksanaannya.[7]
Al-Baqarah ayat 197:
.اْلحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُوْ مَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ اْلحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوْقَ وَلَا جِدَا لَ فِي اْلحَجِّ
وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ
خَيْرَالزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ
Artinya:
(197.) (Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi,barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Tafsir
Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang di maklumi, yaitu
bulan-bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam kesepuluh,
yakni malam hari lebaran idul adha. Ayat ini tidak menyebut kata”musim” atau
“waktu” dalam redaksi diatas. Itu untuk memberi kesan bahwa bulan-bulan itu
sendiri memiliki kesucian pada dirinya dan akibat terlaksananya ibadah haji
waktu itu. Kesan ini pada gilirannya mengharuskan setiap orang baik yang
melaksanakan haji maupun yang tidak, untuk menghormatinya dan memelihara
kesuciannya dengan menghindari bukan hanya peperangan tetapi juga segala macam
dosa.
Bulan-bulan ini dimaklumi yakni diketahui oleh masyarakat arab sejak
sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW. Maka barang siapa yang mewajibkan
atas dirinya dengan menetapkan niat untuk berhaji dalam bulan-bulan itu,
maka hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada rafats, tidak ada kefasikan
dan tidak ada juga berbantah-bantahan, yakni pertengkaran di dalam masa
mengerjakan haji.
Anak kalimat dalam bulan-bulan
itu mengisyaratkan, bahwa ibadah haji dapat terlaksana walaupun tidak
dilaksanakan sepanjang bulan-bulan tersebut. Dengan demikian, waktu haji bukan
seperti waktu puasa ramadhan yang harus di laksanakan sejak awal ramadhan
hingga akhirnya, kecuali yang memiliki udzur yang dapat di benarkan mengganti
puasanya di hari lain.[8]
Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau diketahui itu , antara lain
merupakan waktu permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat berhaji sebelum
bulan-bulan yang disebut di atas tidak sah menurut banyak ulama. Disisi lain,
walau waktunya demikian panjang, yakni
dua bulan sepuluh hari, namun ada amalan-amalan haji yang tidak sah
dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu, seperti wukuf di Arafah yang
tidak boleh sebelum tanggal 9 dzulhijjah, tidak juga setelah terbitnya fajar 10
dzulhijjah.
Waktu yang berkepanjangan itu antara lain dimaksudkan untuk memantapkan
niat, melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani serta melakukan perjalanan
yang hingga kini lebih-lebih dimasa lalu membutuhkan waktu yang cukup lama.
Selain itu, kegunaan dari penentuan waktu haji pada bulan-bulan tersebut,
mengindikasikan bahwa pelaksanaan rangkaian ibadah haji yang dilakukan diluar
bulan-bulan tersebut tidaklah sah, misalnya mengerjakan ibadah haji di bulan
Rajab, atau Sya’ban dan lain-lain. Penentuan waktu ibadah semacam ini
sesungguhnya tidak hanya terdapat pada pelaksanaan ibadah haji, melainkan juga
ibadah-ibadah lain seperti puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain khususnya
shalat, sebagai terdapat pada firman Allah :
اِنَّ الصَّلوةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْ قُوْ تًا
Artinya: ... sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang telah ditentukan
waktunya (al-Nisa’(4):103).[9]
Bagi yang telah memantapkan niat untuk melaksanakan ibadah haji, yang
ditandai dengan memakai pakaian ihram, maka ia sangat terlarang untuk
melaksanakan rafats, yakni bersetubuh atau bercumbu, tidak juga berbuat fusuq
/ kefasikan, yakni ucapan dan perbuatan yang melanggar norma-norma susila
dan atau agama. Tidak juga jidal, yakni pembantahan yang mengakibatkan
permusuhan, perselisihan, dan perpecahan. Manusia-manusia suci bak baru lahir
dari ibunya. Rasul saw bersabda:
فَمَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْ فُثْ وَلَمْ
يَفْسُقْ فَرَجَعَ كَيَوْمٍ وَ لَدَتْهُ اُمُّهُ
Siapa yang berhaji, kemudian dia tidak berbuat rafats,
dan tidak fusuk, maka dia akan kembali (suci ) seperti pada hari dia dilahirkan
oleh ibunya. (HR. Muslim dan lain-lain)[10]
Jika semua larangan di atas dapat dipatuhi oleh orang yang melakukan haji,
maka haji yang seperti itulah yang digambarkan Rasul yang melahirkan
Demikian dapat terlihat,bahwa dalam ibadah haji calon jemaah dituntun
bahkan dituntut untuk menghindari interaksi yang dapat, menimbulkan disharmoni,
kesalahpahaman, dan keretakan hubungan, sebagaimana mereka dituntut juga untuk
menghindari kata-kata cabul dan pemuasan nafsu seksual. Ketiga hal yang
dilarang di atas dikemukakan bukan dalam redaksi larangan, yakni ayat itu tidak
berkata: jangan melakukan rafats, fusuk dan jidal, tetapi berkata : tidak ada
rafats, dan tidak ada fusuq dan tidak ada juga jidal di dalam masa
mengerjakan haji.
Redaksi demikian mengisyaratkan, bahwa substansi ibadah haji bertentangan
dengan ketiga hal yang dilarang itu. Ini berdasar rumus yang menyatakan bahwa:
Segala yang melanggar, dilarang; dan
segala yang bertentangan, dinafikan, yakni dinyatakan tiada. Disisi lain,
redaksi tersebut juga mengisyaratkan bahwa bukan saja dilarang bila ketiganya
berkumpul bersama, tetapi ia dilarang walau hanya berdiri sendiri. Ini dipahami
dari pengulangan kata tidak pada
masing-masing keburukan itu. [11]
Kalau di atas ada tuntunan dan tuntutan menghindari interaksi yang dapat
menimbulkan kesalahpahaman, maka penggalan berikut ini ayat ini yakni: Dan
apapun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya,
mengandung tuntutan dan tuntunan agar para jemaah haji menjalin hubungan harmonis serta mengucapakan kalimat-kalimat
sopan dan baik agar jiwa mereka dapat lebih terarah kepada ketinggia rohani,
saling bantu-membantu dan nasihat-menasihati, khususnya dengan jemaah haji
lain, baik dalam bidang material maupun spiritual. Dari sini lahir pesan
berikutnya: Berbekallah!
Bekal dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing
calon tidak terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang
air mukanya dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jemaah haji
dituntut agar dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah
dalam bidang rohani.
Bekal jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya
menyangkut ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan pada
gerakan fisik, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.
Salah satu yang amat penting diketahui, ditegaskan oleh ayat ini, yaitu Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Takwa,
yakni upaya menghindari siksa dan sanksi Tuhan, baik duniawi akibat pelanggaran
terhadapa hukum-hukum Allah yang berlaku
pada alam maupun ukhrawi akibat pelanggaran hukum-hukum Allah yang
ditetapkanNya dalam syari’at.
Pesan berbekallah maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa, dapat juga dipahami dalam arti berbekallah dan bertakwalah kepada
Allah dalam menyiapkan dan membawa bekal itu. Jangan jadikan bekal yang engkau
persiapkan atau bahwa merupakan hasil dari pelanggaran atau harta yang haram.
Jangan juga membawa bekal yang tidak dibenarkan Allah atau peraturan yang
ditetapkan pemerintah yang berwenang mengatur urusan masyarakat, baik di tempat
kamu maupun di tempat yang kamu tuju. Jangan juga membawa bekal yang berlebihan
sehingga mubazzir, atau mengakibatkan pemborosan. Itu agaknya yang menjadi
sebab sehingga pesan ini diakhiri dengan perintah bertakwa sekali lagi, yaitu
firmanNya, dan bertakwalah kepada-Ku, wahai Ulu al-Albab.[12]
Perintah kali ini ditujukan kepada Ulu
al-Albab, yakni mereka yang memiliki akal yang murni, yng tidak diselubungi
oleh “kulit”, yakni ide yang dapat melahirkan kerancuan,dalam berpikir. Ulu
al-Albab adalah mereka yang tidak lagi terbelenggu oleh nafsu kebinatangan
atau dikuasai oleh ajakan unsur debu tanahnya. Agaknya, penutup ayat ini
ditujukan kepada mereka untuk mengisyaratkan bahwa para jemaah haji yang
melaksanakan tuntutan dan tuntunan di atas wajar untuk menyandang sifat
tersebut.
Larangan melakukan jidal, yakni pembantahan yang dikemukakan pada
ayat yang lalu menimbulkan kesan, bahwa jual beli atau berupaya mencari rezeki
tidak dibenarkan dalam musim haji, karena jual beli seringkali disertai dengan jidal
atau tarik-menarik kemaslahatan. Disisi lain, anjuran berbekal dalam bidang
material dan saling membantu mengundang pertanyaan tentang jual beli karena
aktivitas ini dapat menghasilkan keuntungan dan menambah bekal.[13]
3. Q.S Ali Imran ayat 96-97
إِنَّ أَوَّلَ
بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ.
فِيْهِ اٰيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَا مُ إِبْرَاهِيْمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ اٰمِنًا
وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبيْلًا وَمَنْ
كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌ عَنِ الْعَالَمِيْنَ.
Artinya :
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat)
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (makkah) yang di berkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia, padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (
diantaranya) maqom Ibrahim. Barang siapa memasukinya(Baitullah itu) menjadi
amalanlah dia ; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa
mengingkari ( kewajiban ) haji, maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Tafsir
Bait adalah rumah. Yang dimaksud disini adalah
rumah tempat dan sarana beribadah, bukan dalam arti bangunan tempat tinggal
pertama.
Kata بَكَّةَ Bakkah ada yang memahaminya sebagai tempat melaksanakan
thawaf dimana terdapat Ka’bah. Kata ini terambil dari akar kata bahasa Arab
yang berarti ramai dan berkerumun. Makna ini sangat sesuai dengan
keadaan kota Mekah, khususnya Ka’bah, apalagi pada musim haji, bahkan kini
diluar musim tersebut.
Kalau dalam penafsiran di atas, kata (لِلنَّاسِ) an-nas dalam ayat ini dipahami dalam arti
manusia secara keseluruhan, maka ada juga sementara penafsir yang memahaminya
dalam arti manusia tertentu, yakni masyarakat kota madinah dan sekitarnya, baik
kaum muslim, nasrani atau yahudi. Semua mereka mengakui nabi Ibrahim AS. Semua
mengakui bahwa beliau membangun/meninggikan pondasi ka’bah. Jika demikian
sangat wajar yang dinamai rumah peribadatan pertama yang dibangun untuk manusia
yakni untuk ketiga penganut agama tersebut adalah yang di Bakkah yakni di kota
itu, atau di Makkah al mukarromah.
Disamping Bakkah
merupakan rumah peribadatan pertama, ia juga (مُبَارَكًا) mubarrokan. Kata ini terambil dari kata yang
bermakna mantab, bersinambung dan tidak bergerak. Dari akar kata yang
sama lahir kata berkat yang bermakna kebajikan yang banyak. Atas
dasar ini jika anda berkata bahwa sesuatu ada berkatnya, maka itu berarti bahwa
dia mengandung kebajikan yang mantab dan bersinambung, dan tidak ada habisnya. [14]
Makkah dan Bakkah terus menerus menghasilkan
kebajikan. Kata ini dapat mencakup kebajikan duniawi dan ukhrowi, tetapi
sementara ulama membatasinya pada yang duniawi atau material, dan memahaiminya hudan
lil ‘alamin dalam arti kebajikan ukhrowi dan yang bersifat immatrial.
Bentuk jama’ pada kata (عَالَمِيْنَ) ‘alamin menunjukkan bahwa ia menjadi, bukan
buat satu alam tertentu, atau kelompok dan generasi tertentu saja tetapi banyak
dan beragam. Kalaulah kita mulai dari masa dikumandangkannya ibadah haji oleh
Ibrahim AS maka sesungguhnya manusia telah berkunjung kesana sejak waktu itu
dan menjadikanya sebagi sarana dan tempat melaksanakan serta memperoleh
petunjuk illahi.
Ketika menjelaskan makna maqam Ibrahim penulis mengemukakan bahwa : maqam
adalah tempat berdiri. Maqam ibrahim adalah tempat beliau berdiri
membangu ka’bah, maqam Ibrahim yang di maksud adalah seluruh arah dimana ka’bah
itu mengarah karena itu ada yang memahami maqam ibrahim adalah seluruh masjid
Al-haram. Ada juga yang memahami istilah itu sebagai satu tempat yang ditandai
dengan sebuah batu bekas telapak kedua kaki Ibrahim AS. Dimana beliau pernah
sholat. Batu tersebut kini di letakkan didalam sebuah bejana kaca.
Selanjutnya, dilukiskan ketenangan dan rasa aman yang diraih oleh mereka
yang berkunjung kesana dengan firman-NYA; barang siapa memasukinya
(baitullah itu) menjadi amanlah ia, yakni siapapun yang berkunjung dan
masuk ke Ka’bah, atau masuk ke masjid dimana Ka’bah itu berada. Ia tidak boleh
di ganggu, karena Allah menghendaki agar siapapun yang mengunjunginya dengan
tulus, merasa tenang dan tentram, terhindar dari rasa takut terhadap segala
macam gangguan lahir dan batin.
(وَلِلهِ
عَلَى النَّاسِ) walillahi
‘alannas.sungguh teliti redaksi ayat ini. mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia. demikian semua manusia dipanggil kesana, tetapi Allah maha bijaksana.
Segera setelah menjelaskan kewajiban itu atas semua manusia, Yang Maha
Bijaksana itu mengecualikan sebagian mereka dengan firmannya : bagi yang
sanggup mengadakan perjalanan kesana. Ini berarti yang tidak sanggup, maka
Allah memaafkan mereka.[15]
Perlu dicatat menyangkut firman-NYA; siapa yang kafir,
bahwa kufur dalam penggunaan al-Qur’an mempunyai aneka makna, antar lain dalam
arti durhaka, kikir, tidak mensyukuri nikmat dan tidak percaya pada ajaran
islam, ketiga makna ini dapat di cakup oleh kata kufur pada ayat di atas,
tinggal melihat sikap dan perilaku yang enggan memnuhi kewajiban ini. Apabila
ia tidak mengakui kewajiban tersebut maka ia kafir dalam arti tidak percaya
pada ajaran islam, tetapi bila dia mengakui kewajiban itu namun enggan
melaksanakannya maka ia durhaka, dan bila ia mencari dalih untuk
menunda-nundanya maka ia adalah seorang yang tidak mensyukuri nikmat Allah
dalam arti mengkufuri-Nya[16]
BAB III
KESIMPULAN
Haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan amalan wukuf,
thawaf, sa’i, dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan
Allah SWT serta mengharapkan ridhaNya. Umrah adalah berkunjung ke baitullah
atau ka’bah untuk melakukan amalan thawaf, sa’i dan bercukur demi mengharapkan
ridha Allah SWT
Dalam ayat 196-197, Allah menerangkan perkara hukum haji, dan waktu-waktu
pelaksanaan serta sejumlah perbuatan yang dilarang dilakukan jamaah haji. Musim
atau waktu haji adalah beberapa bulan yang di maklumi, yaitu bulan-bulan
Syawal, Dzulqa’dah dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam kesepuluh, yakni malam hari
lebaran idul adha.
Dalam Q.S. Ali Imran kemantapan tauhid dan pembantahan terhadap
argumentasi-argumentasi yang di ajukan Ahli Kitab seputar pendapat mereka
tentang agamanya. Ayat 97 surat ali imran/3 yang pada intinya menyatakan
kewajiban haji bagi orang islam yang mampu dan siapa yang mengingkari kewajiban
haji di pandang kafir.
Maka kita semua sebagai muslim harus benar-benar berusaha untuk menjadi
muslim yang seutuhnya dengan berupaya melaksanakan ibadah haji.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Fuad. Al-Mu’jam
al-Mufahras li alfaadzil quran, Qohirah: Darul Hadis. 1996.
Bayrak, Tosun dan
Muthahhari Murtadha, Energi Ibadah: selami makna, raih kemenangan.
Jakarta: Serambi Ilmu sejahtera, 2007.
Buku Ajar Praktikum Ibadah. Kudus:STAIN Kudus
2013.
Hamdani ,Ahmad. Tafsir
Ahkam 1. Kudus:Nora Media Enterprise 2010.
Khalis Mustashim,
Muhammad. Laa Tansa ya Muslimin, Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati 2006.
Suma, Muhammad Amin. Tafsir
Ahkam 1.Jakarta:Logos Wacana Ilmu 1997.
www. Akanyaulya, haji dan
umrah. com
[1]
Muhammad Khalis Mustashim, Laa Tansa ya Mulimin, Jakarta: PT Niaga Swadaya,
hal. 115.
[2]
Buku Ajar Praktikum Ibadah,2013,Kudus:STAIN Kudus.hal 121
[3]
Syeikh Tosun Bairak dan Murtadho Muthohari, energi ibadah: selami makna, raih
kematangan batin. Jakarta: PT serambi Ilmu sejahtera, hal 13.
[4] M. Quraish
Shihab,2006, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,volume 1, hal.427-429
[5] Ibid,
hal.429-430
[6] Ibid, hal
430-431
[7] Ibid, hal
431-432
[9] Muhammad Amin Suma,1997, Tafsir Ahkam 1,Jakarta:Logos Wacana
Ilmu,hal.117
[10] Ibid, hal 118
[11] Ibid, hal
433-434
[12] Ibid,hal
434-435
[13] Ibid hal 435
[14] M. Quraish
Shihab,2000, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,volume 2,hal147-149
[15]
Ibid,hal.149-152
[16]
Ibid,hal152-151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar